Saya
beberapa kali pernah bertemu kawan, tidak hanya satu-dua orang, yang sesumbar
dan mengutuk pemberitaan di facebook yang sporadis dan awut-awutan. Banyak informasi
yang tak dikehendaki namun selalu saja menggiurkan untuk diklik, muncul di
beranda karena fanspage yang ia like entah berapa banyak. Alhasil, ketika membuka
facebook banyak waktu yang terbuang karena godaan judul berita/informasi
melambai-lambai mirip wanita penggoda yang menyingkap auratnya dengan berani,
padahal informasi itu tidak penting. Pada awalnya hal ini tidak terlalu
bermasalah sebelum ada gangguan yang sangat parah berupa iklan senonok di
samping kanan facebook yang muncul tanpa diminta. Kalimat iklan provokatif yang
menimbulkan penasaran dipajang mentereng yang cukup sulit diabaikan mata.
“inilah 10 polwan cantik dan seksi sepanjang sejarah”, “bokong terbaik tahun
2014”, “wanita seksi ini memilih jadi pemulung” dan iklan-iklan lain yang sudah
masuk kategori keblinger dan sinting.
Realitas
inilah yang cukup menjadi belenggu besar akan pentingnya waktu yang berkualitas
untuk digunakan sebaik mungkin. Terdistorsinya tujuan pencarian informasi yang
mulanya untuk menambah wawasan malah tersesat dalam balutan informasi yang
dikemas sepenasaran mungkin namun kosong dan berisik meributkan hal
remeh-temeh. Ini artinya proses terkristalnya sebuah gagasan yang pada mulanya
cukup mudah karena media yang dikonsumsi sebegitu fokus dan detail malah
terdistorsi oleh beragam informasi yang dikemas apik namun kosong.
Soal
fenomena internet dan sosial media yang masuk dimensi dunia maya ini
kehadirannya memang fenomenal. Alih-alih mudahnya mendapatkan informasi, yang
terjadi adalah kemerosotan kualitas yang begitu parah. Mandelson dalam Danesi
(2002) telah memprediksi jauh-jauh hari soal fenomena ini, ia mengungkapkan
dalam sebuah kalimat apik bahwa:
"perbedaan
terbesar antara referensi-silang di Al-kitab dengan tautan di 'world wide web'
adalah perbedaan antara kata-kata yang tertulis di selembar kertas perkamen
atau kertas pada buku yang dimaksudkan untuk bertahan selamanya dengan
kata-kata yang tercetak dalam fosforesensi transien pada layar komputer,
bagaimana itu akan segera ditimpa oleh kata-kata lainnya. ini bisa menjadi
kontras yang sama yang tertulis 1900 tahun lalu, atau bisa juga tidak, antara
seorang bijak yang membangun rumahnya di atas batu dengan seorang tolol yang membangun rumahnya di atas pasir”
Mengapa hal ini bisa terjadi? Mari bersama kita telusuri
sebab-sebabnya.
1. Era berkembangnya teknologi
yang tak bisa ditawar lagi ini menyebabkan manusia hidup dalam kungkungan stereotip
bahwa dunia maya menawarkan informasi yang lebih banyak dan canggih. Anggapan dunia
maya menawarkan segalanya ini kemudian membuat sangkaan bahwa dunia maya adalah
gudang informasi. Ya, hanya sebatas gudang, soal shohih atau tidaknya, ini
belum tuntas.
2. Dari poin yang pertama, ketika
stereotip manusia dipukul rata untuk menganggap
internet menawarkan segalanya, maka dari sini muncul para oportunis,
memanfaatkan media bukan untuk menyebar informasi, namun demi meraup
keuntungan. Kita tahu bahwa perputaran uang di sektor ini cukup melimpah. Banyak
sekali muncul orang terkaya yang lahir berkat media. Baik portal berita maupun social
media.
3. Pemanfaatan media tidak
hanya dikapitalisasi oleh para pemilik modal, namun ternyata golongan
masyarakat politis juga menggunakan media untuk tujuan tertentu. Sehingga bisa kita
baca bahwa saat ini hampir tak ada media netral, semua berpihak, punya tujuan,
dan berkepentingan.
4. Dari sini bisa kita ketahui
kualitas informasi yang muncul. Berawal dari persaingan untuk meraup keuntungan
berupa kekayaan atau pun penggiringan opini ini melahirkan limpahan informasi
yang saling bersahutan, tumpang tindih, fenomenal, bahkan terkadang saling bertolak
belakang dan menyerang.
Inilah yang dimaksud Mandelson antara membangun di atas batu dengan membangun di atas pasir. Informasi di dunia maya hampir tidak ditujukan untuk menjadi rujukan ribuan tahun, berbeda dengan karya-karya yang dibuat susah payah secara klasik namun mampu abadi.
Sebagai generasi yang mengalami fenomena membuyarnya informasi, kita tidak bisa lari begitu saja. Dengan sikap kita yang tak peduli terhadap fenomen ini juga berbahaya bagi kita. Informasi yang buyar ini disebut-sebut Danesi sebagai dunia yang termediasi harus dihadapi dengan kejelian dan penuh kewaspadaan.
So, bagi generasi muda, mulailah cerdas…
Semarang, 5 November 2014
AabElkarimi
Era berkembangnya teknologi yang tak bisa ditawar lagi ini menyebabkan manusia hidup dalam kungkungan stereotip bahwa dunia maya menawarkan informasi yang lebih banyak dan canggih. Anggapan dunia maya menawarkan segalanya ini kemudian membuat sangkaan bahwa dunia maya adalah gudang informasi. Ya, hanya sebatas gudang, soal shohih atau tidaknya, ini belum tuntas. << wah lha yok opo meneh mas, ya di internet (apalagi medsos) menawarkan banyak isu, gosip, informasi, data, dsb gak tau akurat ta gak yg jelas ada sesuatu yg baru stp hari, bahkan mungkin stp jam.
ReplyDeletePENTING neh mbak Selin, katanya si E.B. White. (1899-1985):
Delete…”Jika setiap orang mampu melihat segala sesuatu, semua yang dilihat akan kehilangan nilai kejarangan yang pernah dimilikinya, dan mungkin akan tiba saatnya ketika orang-orang mampu melihat dan mendengar nyaris segala sesuatu akhirnya tidak akan tertarik pada apa pun"
So nyantei aja.. nanti juga bosen.. haha