Menilik
pesatnya perkembangan teknologi, saya dalam diam hanya bisa mengenang. Pada masa
internet masih jarang, televisi belum seberisik sekarang, dan portal berita
hanya satu-dua, di situ terdapat ketenangan yang tentunya cukup berbeda dari
sekarang.
Memang
sulit bagi kita untuk kembali pada masa lalu, karena sejatinya hidup terus
berjalan maju. Namun terkadang majunya hidup hanya termaknai sebagai suatu
kewajaran, tidak perlu dipikirkan, dan menguap begitu saja beserta realitas
yang tidak kita ketahui benar atau salahnya. Dari ketidakpedulian kita terhadap
hidup, memancing kita untuk ikut arus, berenang bersama yang lewat, berkawan
dengan apa saja. Kalau pun menepi untuk berpikir, di arus sungai ini kita malah
tersangkut berbagai macam sampah, dari limbah rumah tangga, limbah pabrik,
hingga tinja hewan dan manusia.
Namun
dari ketidaksadaran ini hidup sejatinya dipenuhi tragedi yang banyak tidak kita
ketahui. Teknologi yang kita tidak sadari ini telah melahirkan banyak varian rasa
yang mengendalikan.
Teknologi
media telah memaksa manusia mudah sesumbar sekenanya, berekspresi seenaknya,
dan beropini berbusa-busa. Media juga mendidik dengan telaten, mengafirmasi
dalam jiwa, mengajarkan bahwa ketika melihat ini kita harus menangis, ketika
melihat itu kita harus jijik. Namun fenomena berkembangnya media ini tidak
hanya soal mengajar dan mendidik dengan ikhlas dan tanpa pamrih, bak Umar Bakrie
dalam lagunya bang Iwan, tapi mereka membuat sebuah Coloseum pertempuran, menyiapkan diri menjadi gladiator, berebut
mengambil peran, membentuk poros-poros kekuatan, menggaet banyak senjata, untuk
sebuah tujuan. Akibatnya arena pertempuran ini membuat sebuah galaksi media
yang tidak seperti galaksi ciptaan Allah yang dinamis, tapi galaksi yang
membuyarkan informasi. Hal ini seperti
yang dibahas dalam tulisan sebelumnya bahwa saat ini media melahirkan informasi
yang buyar, membludak, dan membingungkan.
ilustrasi media by http://ferrebeekeeper.wordpress.com |
Dalam
bukunya “pengantar memahami semiotika media” Danesi mendefiniskan media/medium sebagai cara fisik bagaimana suatu sistem tanda (piktograf,
karakter alfabet) perekam gagasan bisa diaktualisasikan. Pengertian Danesi ini jika
kita tilik lebih jauh lewat pembacaan sederhana terhadap fenomena yang nampak
setiap hari adalah sikap otomatis kita dalam memilih merk gadget atau pun tempat
belanja. Tanda (piktograf, karakter alphabet) yang sering kita lihat dalam
iklan ternyata mampu membuat kita mengaktualisasikan tanda tersebut untuk
memiliki gadget atau mengunjungi tempat
berbelanja tertentu. Itulah media, berperan sebagai alat untuk
mengaktualisasikan gagasan.
Jika dilihat dari sisi historis, kita akan menemukan satu masa
dimana cikal bakal keberisikan media masa saat ini tercipta. Secara singkat, berawal
dari penemuan teknologi kertas dan mesin cetak, manusia mulai menghimpun dan
memperbanyak informasi untuk lebih mudah dikonsumsi publik. Dan berlangsungnya
zaman mengajarkan manusia untuk terus berinovasi yang kemudian melahirkan
berbagai varian baru yang lebih praktis, bebas dan canggih. Alhasil, surat
kabar, radio, televisi, film, hingga yang digandrungi saat ini seperti internet
yang menelurkan youtube, facebook, skype, twitter, instagram, dsb. nangkring
dengan elegan dijagat permediaan. Namun bagaimana pun media hanyalah benda mati.
Media hanyalah alat untuk merekam sistem tanda, dan manusialah yang memiliki
kendali penuh.
***
Bermula dari media yang diolah untuk sesumbar semaunya, lahirlah kebisingan.
Media yang porsinya sebagai alat, saat ini telah mengalami ledakan yang luar
biasa besar, hal ini digadang-gadang sebagai buah kecerdasan para manusia
modern dalam bertukar informasi, memberi informasi, hingga mengarahkan
informasi. Namun sayangnya lewat fenomena ini media telah banyak dikendalikan
untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang menjijikan, baik bersifat akumulasi
kapital berupa raupan keuntungan, atau pun penyeragaman gagasan untuk mengamini
suatu teori atau pemberitaan tertentu. Inilah yang membuatnya berisik:
kepentingan dan kesempatan.
Lalu buktikanlah!, berapa sering kita menyenangi sebuah lagu
begitu sama dan seragam? Padahal di bumi ini ada jutaan jenis lagu dan gendre
music yang tersedia, yang tentunya sama-sama enak dan pulen di telinga?
Buktikanlah!,
berapa sering kita menganggap norak pakaian orang? Padahal idealisme selera apa
bisa disetarakan?
Buktikanlah!,
berapa peningkatan jumlah perokok dikalangan anak muda? Padahal iklannya hanya ada
orang yang duduk di pantai, sepak bola, atau bermain bulu tangkis?
Buktikanlah!,
berapa spontannya jawaban kita ketika ada yang berkata “apapun makanannya…”?
minumannya mengapa mesti satu merek tertentu?
Atau buktikanlah!, berapa banyak kita membaca berita, setibanya
kemudian muncul anggapan bahwa densus bijak, FPI bajingan, Islam teroris,
jokowi pro rakyat? Padahal kita tidak pernah tahu semua itu benar apa salah.
Inilah
luar biasanya media. Media sebagai alat mengejawantahkan sistem tanda menjadi
suatu gagasan, aktifitas, dan selera bersifat sangat mendidik. Lewat suatu
kajian yang tersistematis, media dikendalikan untuk sesuai dengan keinginan pihak
pengendali media. Kita digiring untuk menyukai sesuatu yang sama, menyenangi
merk yang sama, beranggapan terhadap sesuatu dengan pandangan sama, berbusana
dengan style sama. Dan ibu-ibu kita di rumah, periksalah!, berapa sering mereka
bergosip tentang artis yang tidak mereka kenal betul dan sang artis ogah
mengenal mereka? Mengapa dulu kita bisa sebegitu histeris menangisi kematian Nike
Ardila dari pada matinya tukang becak yang rumahnya tepat berada di samping kita?.
Padahal
tentang cerita media yang sengaja saya kemas dengan menakutkan ini ada satu
sesi sejarah yang sengaja saya langkahi. Jika mau lebih jauh lagi bicara
sejarah tentang media, akan ada kernyitan dahi yang membuat kita tercengang
dengan fakta bahwa bangsa Sumeria bisa mengembangkan peradaban besar karena
mereka menggunakan media berupa tulisan paku zaman kuno yang dituliskan secara permanen
ke kepingan tanah liat. Ada juga kisah papyrus dan hieroglif yang mampu mengubah
masyarakat Mesir menjadi peradaban yang maju. Atau pun kita mengenal alphabet
yang mendorong Yunani menelurkan peradaban yang sampai saat ini masih bisa kita
kenang. Ya, Semua ini berkat media. Bedanya dengan saat ini adalah porsi penggunaan
dan siapa yang mengendalikan.
Sedikit
saya tuturkan bahwa adanya perbedaan antara media yang saat ini bersifat
tersistematis, disengaja, dan memiliki tujuan dengan bahasa lisan yang keluar
secara otomatis dalam percakapan sehari-hari. Keduanya memang digunakan sebagai
alat penyampai informasi, namun perbedaannya cukup kentara ketika kita mengetahui
bahwa bahasa lisan sehari-hari tidak mampu sampai pada pengetahuan presisi
semacam yang tertuang dalam media saat ini. Bahasa lisan lebih sering keluar dengan
luapan emosional atas suatu respon keadaan, terkecuali jika bahasa lisan yang
dimediakan, dibuat dengan konsep lalu disampaikan lewat audio atau video, itu pun
masih kecil kemungkinan memiliki objektifitas. Namun media bisa didesain dengan
kecermatan dan tingkat kepresisian untuk mengendalikan pikiran.
Sampai
sini kita telah mengerti bagaimana media itu dikendalikan dan memiliki
objektivitas untuk mengaktualisasikan sebuah gagasan. Dan berawal dari
kebisingan dan rindu kita terhadap ketenangan telah mampu menyimpulkan bahwa
semua kebisingan dan buyarnya informasi ini akibat media yang dikendalikan untuk
kepentingan, yang berasal dari sifat naluriah manusia dalam mempertahankan
hidupnya untuk bersaing hingga terlewat batas.
0 Response to "TERKENDALIKANNYA MEDIA"
Post a Comment