Portal berita CNN pada Kamis
(18/2) merilis berita terkait ungkapan Anas Saidi yang berujar bahwa radikalisme
ideologi telah merambah dunia mahasiswa melalui proses Islamisasi. Lebih
jauhnya Anas mengatakan: “radikalisme ideologi jika tidak dicegah dari sekarang
bukan mustahil Negara akan porak poranda dan dipecah karena perbedaan
ideologis”. Hal ini diungkapkan saat diskusi Membedah Pola Gerakan Radikal, di
Gedung LIPI, Jakarta, (cnnindonesia.com)
Meninjau ungkapan tersebut,
kiranya kita tak bisa hanya mengangguk mengamini. Pasalnya hingga kini term
radikalisme ini belum terurus secara jelas terkait objek sasaran yang dituju. Di
samping itu, definisi radikal sebetulnya punya kecenderungan bebas nilai (bisa
baik/buruk), namun manakala makna ini dimobilisasi lewat sebuah badan, didanai
secara besar-besaran, dan dipropagandakan dengan giat, maka pergeseran makna
radikalisme sudah barangtentu akan menjadi sebuah justifikasi dari penolakan.
Ke depan, boleh kita membayangkan bagaimana hal ini akan berdampak pada sikap
represif, anti kritik, dan jumud.
Dalam
kajian semantik, bagaimanapun beragam istilah yang ada di dunia ini akan
cenderung mengalami pergeseran kata manakala opini publik berubah. Dalam
kaitannya dengan istilah radikalisme ideologi, hal ini sebenarnya bukanlah
barang mewah yang patut disegani, apalagi ditakuti. Pertarungan dalam merubah
opini publik lewat pemikiran merupakan hal yang halal dan biasa. Ini dibuktikan
dengan perjalanan sejarah peradaban umat manusia yang sudah banyak berubah.
Adab menuduh
radikalis
Patut
kita simak, Dandhy Laksono, seorang jurnalis senior, pernah mengungkapkan “di
lapangan, ‘NKRI harga mati’ itu sama menakutkannya dengan ‘kafir halal darahnya’”.
Hal ini terkait bagaimana sebuah Istilah diglorifikasi secara lebay hingga
membuat kecemasan. Istilah radikalisme ideologi yang berkecenderungan untuk menjustifikasi
kelompok tertentu sering salah tuduh. Ini sebuah tindakan yang memalukan. Untuk
itu, dalam menuduh radikalis pada seseorang hendaknya membutuhkan adab yang ahsan. Dosa pertama salah tuduh ini
manakala kita lalai melakukan klarifikasi. Kedua,
malas menggali informasi di lapangan. Ketiga,
lalai memahami konteks. Keempat,
terlalu mendramatisir. Kelima, tidak
berempati pada pihak yang tertuduh. Keenam,
anti kritik dan ndablek dalam
kesalahan. Ketujuh, tidak pernah
ingat untuk ngaca!. Begitulah adab yang ahsan
manakala kita ingin memberikan label radikalisme pada suatu gerakan.
Membentengi
diri dan mencari solusi
Saat
ini beragam istilah sudah banyak membuat kita cemas; fundamentalis, teroris,
radikal, dsb, Sehingga sangat diperlukan sebuah cara bagaimana kita membentengi
diri dan menempatkan diri secara proporsional di tegah hiruk-pikuk istilah yang
menekan. Bagi kita, tidak perlu ada yang mesti ditakutkan. Satu-satunya rahasia
dari menaklukan ketakutan adalah berpikir dengan benar. Nalar kritis yang telah
banyak diuji dengan keadaan, dibenturkan dengan beragam teori dan kajian akan
membawa kita pada satu kesimpulan bahwa ancaman terbesar dari keutuhan negara
Indonesia yang kita cintai ini adalah neoliberalisme dan neoimprealisme.
Bagaimana dua faham ini begitu mengancam lewat beragam agenda HAM, emansipasi,
feminisme, liberalisasi ekonomi dan yang lainnya, menyebabkan bangsa ini
berkemungkinan disintegrasi. Separatisme di Papua harus jadi pikiran kita
bersama, begitu pun dengan LGBT, persaingan MEA, agenda hutang Negara dari Cina,
tak sangkilnya BPJS, korupsi, dan beragam permasalahan yang melekat di bangsa
ini akibat diterapkannya system Demokrasi Kapitalisme.
Untuk
itu, perlu kiranya kita berdoa, memohon dengan tulus pada Allah swt. yang
menciptakan hidup, yang mampu menangkal beragam ancaman yang akan membuat
bangsa ini koyak dan hancur. Dan doa itu senantiasa harus kita jaga, harus
senantiasa kita jaga!. Karena sungguh kita tahu bahwa tidak ada yang berhak
mengatur dan menentukan nasib manusia begitupun nasib bangsa selain atas
kuasanya. Manifestasi dari hal ini tentu menyerahkan kedaulatan hukum hanya
pada Allah Swt. inilah jalan keselamatan. Ideologi Islam![] Aab
ungkapan radikalisme ini membentuk pola berfikir khalayak saat ini begitu takut dengan keyakinan mendasarnya (Islamophobia). Arahnya bisa kita tebak, Globalisasi liberal. Menebarkan benih-benih penyakit dimana pemuda dicekoki dengan 'wahn' sehingga lupa apa tujuan mereka hidup. Ane izin kutip tulisan Antum Pak, luar biasa.
ReplyDeleteSalam dari KAMMI Fatahillah
nggih mas rizki aji.. monggo....
ReplyDeleteAlaikumsalam wr.wb