Kurikulum Berbasis Komplot-tensi

Oleh: Aab Elkarimi*

Salah satu fenomena yang tidak bercanda itu adalah manakala kita kemas pendidikan di negeri ini dari waktu ke-waktu, lalu meninjau dengan kacamata waras, merangkai momen-momen dari perubahan bentuk kebijakan pendidikan setiap pergantian rezim, diakhiri dengan ritual merenung manyun untuk meratapi hal tak sangkil ini.

Meninjau lebih jauh soal pendidikan dewasa ini, sungguh, ragam gaya dan struktur kepengurusan yang sudah diramu macam-macam itu, yang dibentuk lewat riset itu, yang namun selalu kalah di atas meja judi politik itu, amatlah membobol nalar jika kita tahu bahwa output ‘manusia berpendidikan’ di lapangan telah begitu sinting. Alih-alih kemajuan yang didapat, hasil ramuan itu seolah membuktikan bahwa kualitas pendidikan kita masihlah level dangdut keliling. Kita kalah, belum mapan, dekaden, tertinggal, dan (maaf) sekali lagi: SINTING!.

Sebagai awalan, perlunya kita lebih jauh mencermati bahwa hakikat pendidikan sejatinya merupakan salah satu pilar dari enam pilar dasar kebutuhan manusia. Selain sandang, papan, pangan, juga termasuk di dalamnya pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Dari sinilah jika kita telah memegang erat bahwa kebutuhan dasar manusia itu tidak hanya kebutuhan perut, hunian, dan menutup selangkangan, maka pendidikanlah letak pembeda antara manusia dengan binatang. Namun manakala pendidikan dibuat main-main, atau paling tidak dirancang secara tidak serius, dengan mekanisme uji coba yang terus menerus, dicurangi, diutak-atik dalam kaleng politik, yang seolah setiap pergantian rezim harus menyumbang ciri khas namun tidak murni diikhiyarkan untuk perubahan, maka kualitas manusia di suatu negeri manapun, jelas akan tertinggal. Mau tidak mau, hal inilah yang sekarang terjadi. Bukan dimana-mana, di negeri kita!.

Namun bukan hanya kutukan yang ingin kami sampaikan. Lagi pula, menjadi pengutuk sudah banyak digemari masyarakat dumay di negeri ini. Yang ingin kami sampaikan adalah tentang beberapa poin yang sengaja susah payah kami rangkum disela-sela peluh keringat yang harus terus ditambah karena harga kebutuhan yang juga terus naik. Untuk itu ada baiknya jika kami dipersilahkan membenarkan letak pantat untuk curhat. Kurang lebih ada beberapa bagian yang sengaja kami rangkum hasil dari pertapaan lama sekali, dalam tanah.


Kaleidoskop keledai

Ibarat puzzle, kaleidoskop merupakan rangkaian dari bagian-bagian tercecer, dirangkum untuk mengingat momen, lalu disajikan sebagai bahan pembelajaran agar tak salah menentukan arah. Adapun mozaik-mozaik yang telah tercecer dalam dunia pendidikan Indonesia yang sudah ‘ini-itu’ ini, berbalut nama KTSP, KBK, Kurtilas, lebih jauh lagi ada kurikulum 2004, suplemen kurikulum 1999, kurikulum 1984, kurikulum 1975, rencana pelajaran terurai 1952, rencana pelajaran 1947 dengan akumulasi total, bosanlah dalam 11 kali perubahan. Namun yang menjadi masalah, jika kita kaitkan ragam kurikulum yang sudah ‘ini-itu’ ini dengan perjalanan bangsa yang masih ragu untuk merdeka, seolah pendidikan belumlah berkontribusi banyak untuk perubahan. Kemudian di penghujung dunia sana ada yang memplesetkan bahwa katanya kurikulum di Indonesia makna sebenarnya Kuli-Kulum. Ya, tujuan yang hanya menciptakan kuli yang tugasnya hanya mengulum kemajuan, tidak mengunyah, apalagi menyantap dan menikmatinya.

Kami bukannya tidak membaca dan kurang piknik, kami melihat, kami juga membandingkan dan menganalisis disela-sela peluh keringat yang harus terus ditambah karena harga kebutuhan yang juga terus naik, tidak hanya membandingkan negara antar negara dalam soal kualitas pendidkan, kami juga komparasikan dengan aspek historis dari penggalan-penggalan peradaban masa lalu dalam kaitannya soal kualitas pendidikan. Dan kami berharap banyak bahwa tulisan ini bukanlah analasis cengeng. Maka kami menemukan bahwa salah satu permasalahan inti dari pendidikan ini adalah bercokolnya materialistik yang lahir dari rahim sekulerisme sebagai bahan dasarnya.

Di sebagian waktu yang telah hangus, dari tahun ke tahun yang motifnya semakin beragam, orang tua menyekolahkan anak agar mereka mampu hidup mandiri dan bersaing, syukur-syukur bisa kaya, hidup mapan berbalut selendang kemegahan gelar dan kekayaan. Didikan matre yang tanpa disadari ini telah melekat ke dasar bumi, ia hinggap di banyak sanubari manusia matre yang juga tumbuh subur di negeri ini. Karenanya sangat sulit untuk tidak mengatakan bahwa tujuan anak sekolah bertahun-tahun hanyalah untuk investasi. Tujuan pendidikan yang rangup ini melahirkan kesan bahwa basis pendidikan bertumpu pada sesuatu yang terukur secara material, baik itu gelar kesarjanaan, pekerjaan, atau ‘ini-itu’. Dan otomatis dari sudut pandang seperti ini, hal-hal yang bersifat non materi menjadi terabaikan. Nilai transendental dirasa tidak patut atau tidak perlu dijadikan sebagai standar penilaian sikap dan perbuatan. Tempatnya telah digantikan oleh etik yang pada faktanya bernilai materi juga. Pembahasan ini jika kita bawa lebih jauh pada kegagalan Negara dalam mempersiapkan generasi muda, sangatlah ironis. Banyak para pemuda ‘syahid’ di medan pertempuran dunia mudanya hanya karena rebutan gebetan, mempertahankan idenitas sekolah, hingga bunting-membuntingi dan tersungkur dalam dekapan botol miras. Jumlah ini tidak sedikit! Kami katakan sekali lagi: tidak sedikit!. Lihat saja bagaimana statistik berbicara bahwa angka aborsi yang kebanyakan dilakukan generasi muda ini telah sampai pada angka 2,5 juta jiwa di tahun 2012? Peran pendidikan?

Pertanyaan kami menjadi jelas: Apa dampak pendidikan bagi kemajuan negeri? Bukankah keberhasilan pendidikan tidak terletak hanya karena anak bangsa yang jumlahnya satu dua itu memeroleh medali dalam ajang olimpiade, kemudian dipotret dan dibingkai dengan nama ‘inilah salah satu potret dari pendidikan Indonesia yang semakin berkembang’? berkembang apa? Ndasmu ngembang!. Lalu bukankah yang selalu terpuruk berkali-kali, hancur lebur dan tidak belajar dari perjalanan waktu hanyalah keledai?
Ah, kami pikir kami yang salah.


Kurikulum berbasis komplo-tensi

Meninjau apa yang disampaikan di atas, kami semakin ragu jika nasib Indonesia ke depan –yang saat ini sedang gigih berjuang untuk perbaikan ekonomi— terus berupaya dalam perjuangannya namun tanpa dibarengi dengan meninjau kesalahan fatal dalam pendidikan di indonesia, maka sama saja ibarat menyerahkan sebilah pisau pada anak balita. Hal ini menjadi tidak bisa dipungkiri bahwa adanya keterkaitan antara pendidikan dengan aspek politis merupakan suatu keniscayaan. Adapun realitas dihadapan kita semua, sangat tidak bisa dielakkan kalau kurikulum pendidikan kita dan segala hal yang berkaitan dengan pendidikan kita, hampir selalu berjalan dengan komando dari komplotan politis. Artinya komplotan-komplotan politis yang mengisi posisi sebagai pemangku kebijakan dunia pendidikan kita saat ini adalah mereka yang menjadi anggota parpol. Kalaupun tidak, maka sedikit banyak berafiliasi dengan parpol, kalaupun masih tidak, ya minimal pernah ngopi bareng. Kalaupun masih tidak juga, maka kami berdoa bahwa pendidikan Indonesia diurus kaum professional yang tatkala mengurus tidak diracuni ideologi komplotan.

Pembahasan akan situasi seperti ini menghasilkan term yang nantinya kami sebut dengan ‘Kebijakan komplotensi’. Artinya, segala hal yang berkaitan dengan kebijakan dikendalikan oleh komplotan politis yang nantinya setelah pergantian komplotan (rezim) menimbulkan tensi untuk mengganti kebijakan dengan alasan kebijakan ini sudah tidak sesuai. Situasi alam politis yang penuh tensi persaingan ini kemudian berakibat pula pada banyak waktu yang terbuang yang sebenarnya dapat digunakan untuk meninjau permasalahan secara sungguh-sungguh. Dengan meninjau permasalahan secara benar dan mendalam, kita sudah sepatutnya mengambil sekulerisme yang melahirkan materialism sebagai masalah utama.

jadi seperti itulah, dan tulisan ini sengaja dihentikan sampai sini saja. []

0 Response to "Kurikulum Berbasis Komplot-tensi"

Post a Comment