CATATAN KAMPANYE DAN PAGELARAN KETOPRAK YANG BERTOPENG DIALOG KEBANGSAAN DI KAMPUS; REFLEKSI KEGILAAN DEMOKRASI DALAM LINGKUP KECIL

Pagi memang tak begitu panjang hari ini, hanya beberapa booklet tanpa penuturan yang diserahkan saat audiensi ke salah satu Lembaga kampus, itupun tanpa tanggapan karena semua lembaga kampus hari ini sedang sibuk menyambut para tokoh nasional yang datang ke kampus.

Tidak ada kata terindah selain kita terdiam dalam keramaian, kemudian menepi sebentar dan menangis karena kegilaan ini berlalu di depan kita dengan kemasan yang menggelikkan. Ya, acara pegelaran ketoprak dan karokean yang muncul di tengah kampus dengan topeng DIALOG KEBANGSAAN.

“Saya Abdul Qodir, Mahasiswa semester tiga, jurusan teknik sipil, Universitas negeri Semarang. Saya berbicara di sini mewakili teman-teman dari Gema Pembebasan Unnes, Sekaligus saya mewakili segenap rakyat Indonesia. Di balik acara yang megah ini, sungguh saya turut berduka cita atas hilangnya kedaulatan dan aset negeri, berupa migas, yang sampai saat ini masih didominasi swasta dan asing, juga saya turut berdukacita atas kado yang baru saja dikeluarkan pemerintah berupa kenaikkan LPG 12 kg dan munculnya Undang-Undang aneh, yaitu BPJS yang merupakan Jaminan Kesengsaraan Nasional.  Ketika Bpk Sutioso berkata bahwa 309 wakil kita sedang di proses KPK maka dengan itu sudah tegas bahwa demokrasi tidak menghasilkan apa-apa, sudikah bapak menimbang ulang diterapkannya demokrasi yang nyatanya membutuhkan biaya mahal dan mengikat setiap pemimpin yang sudah jadi untuk sibuk bayar hutang pemilu, jelas inilah yang menghasilkan kebijakan tak sangkil di tengah kita... bla…bla..”

Catatan konsep di secarik kertas itu kandas karena waktu terbuang oleh acara dadakan karaokean para cawapres. Acaranya meriah, mampu menggaet simpati mahasiswa hedon yang senang hiburan. Dihiasi riuh tepuk tangan, acara semakin berlanjut bergemuruh kosong, tul! Para kandidat capres yang menyumbangkan suaranya itu bisa dibilang cukup merdu untuk kategori karaoke tingkat keluarga.

Di sela waktu menjelang akhir, barulah ada sesi dialog yang hanya menampung beberapa pertanyaan saja dari 5000 mahasiswa yang hadir. Saya mengangkat tangan tinggi, 5 kali, sembari melambai-lambaikan kertas putih yang menjadi konsep pertanyaan. Na’as GAGAL. Kemudian dengan senonoh acara diakhiri dan menghasilkan simpulan bahwa GOLPUT BUKAN PILIHAN, sementara saya kebingungan menangkap esensi dari acara itu, saya tergopoh gamang membaca sosok calon pemimpin yang seperti apa yang harus saya pilih, pintar bernyanyikah? Sementara tentang visi, misi, dan kejelasan konsep, tentang masalah kebangsaan, tentang  masalah saya yang masih kebingungan dengan semua. Kepala saya panas akhirnya, ini nyata!.

Dengan ini saya berucap lirih di atas catatan kecil ini bahwa dalam lingkup kecil saja kedaulatan di tangan rakyat adalah kebohongan besar. Tidak bisa simpulan acara seenaknya dituturkan yang padahal ada banyak mahasiswa lain yang belum diberi kesempatan bicara. Jika pun ada seorang mahasiswa yang paling rasional berpendapat dengan argumen yang paling kuat, tidak akan mampu untuk merubah simpulan acara yang telah terseting dan didukung voting terbanyak.

Inilah miniatur kegilaan demokrasi.

Sungguh sangat mustahil tampuk kepemimpinan itu diserahkan pada jutaan kepala yang setiap kepala itu memiliki gagasan yang berbeda. Rakyat yang frustasi bisa dihasut untuk bertindak apa saja, ketika rakyat yang tak tahu menahu disodorkan pilihan maka suatu keniscayaanlah untuk digiring tim sukses memilih garong sekalipun.

Demokrasi bukan pilihan, campakkan!

Saatnya revolusi islam!



2 Responses to "CATATAN KAMPANYE DAN PAGELARAN KETOPRAK YANG BERTOPENG DIALOG KEBANGSAAN DI KAMPUS; REFLEKSI KEGILAAN DEMOKRASI DALAM LINGKUP KECIL"

  1. siapa tokoh tamu sekolah kebangsaan nya? sungguh acara spt ini sarat politik baik dr omek maupun parpol yg berhubungan dgn omek tsb. Seenak BEM sendiri

    ReplyDelete
  2. mbak lucky: wiranto, anis matta, sutiyoso, ichran noor, satu lagi lupa.
    jelas, BEM hanya EO nya pak rektor.. tidak berdaulat dan bisa di stir sana-sini.

    ReplyDelete