SE'ENAK UDEL DALAM BERAGAMA


Sayyidina Ali rahimahullah pernah berkata: "Jika Agama semata-mata dipamahi hanya dengan akal saja, niscaya mengusap sepatu itu tentu lebih utama bagian bawahnya daripada atasnya"

Dalam pernyataan Sayyidina Ali rahimahullah ini menjelaskan kepada kita bahwa dalam memahami dan mengamalkan agama tidak bisa kita seenak udel beramal hanya dengan akal. Dalam kasus kecil mengusap sepatu, jika menurut logika, tentu yang dibersihkan itu adalah bagian terkotor, yaitu bagian bawah sepatu, bukan bagian atas. 

Sungguh, dalam beragama itu tidak tepat hanya mengandalkan logika semata karena sesungguhnya ilmu kita terlalu rendah untuk menjangkau ilmu Allah yang agung.

Maka dari itu dalam memahami agama tidak bisa sebatas perasaan saja. Menganggap hal-hal yang tidak sesuai dengan kita adalah hal yang tidak perlu dilakukan, meraba-raba bahwa apa yang harus dilakukan oleh kita adalah semata-mata dari akal logika saja. Lebih jauhnya dalam memahami bagaimana kita tidak bisa bertindak seenak udel dalam beragama adalah dalam aspek amaliyah, misalnya, pembahasannya bukan seberapa besar manfaat bagi kita, tapi pembahasannya adalah pada hukum syara', yaitu aturan khusus berupa syariat yang akan menunjukkan kita bagaimana kita harus bergerak, bagaimana kita beramal. Parameter syariat inilah yang harus dijalankan dalam memahami amaliyah (perbuatan). Tentunya pemahaman syariat ini akan sangat berbeda ketika kita memahami akidah. Dalam memahami akidah, yang pertama harus dilakukan adalah meyakini dengan pasti (yaqinul jazmi). Bagi seorang muslim akidah dikatakan lurus ketika kita yakin bahwa Allah merupakan Tuhan bagi sekalian alam, lewat kuasanya kita hidup, lewat kuasanya kita akan dijayakan, lewat kuasanya pula kita mati dan kembali pada Allah. I'tiqodi (keyakinan) inilah yang merupakan landasan dan menjadi pegangan, namun dalam berbuat yang menjadi pegangan adalah aspek syariat. Karena kaidah ushul menyatakan Alaslu fil af'al huwa taqoyyidu bi hukmillah (hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum Allah). Jadi ketika seorang muslim telah berakidah lurus, maka secara spontan dalam segala macam aspek amaliyahnya adalah harus mengikuti hukum syara. Dan kita semua telah mafhum betul bahwa syariat ini bersumber dari empat sumber; Al-Qur'an, Al-Hadits, Ijma sahabat dan Qiyash.

Namun pelru dipahami bahwa kita tidak boleh mencampuradkukkan aspek akidah dan syariah, ini dikarenakan keduanya adalah hal yang berbeda. 

Pemaparan sekilas tentang akidah dan syariat kiranya bisa lebih dipahami jika melalui contoh kasus. Dalam mencari rezeki, misalnya, I'tiqad (keyakinan) kita adalah bahwa rezeki itu datangnya dari Allah, rezeki itu murni karunia Allah sebagai sang pencipta (Al-khaliq) kepada kita yang menjadi ciptaannya (Al-makhluk). Sedangkan syariat kita adalah kita melakukan amal, berupa pekerjaan yang berlandasan syariat Islam; Halal-Haram, Baik-Buruk. Jadi dalam memahami rezeki saja kita tidak bisa seenak udel mencari rezeki; garong sanan-sini, jungkir balik sekenanya. Juga kita tidak boleh seenak udel berdiam diri; leha-leha, duduk santai sambil ngopi pagi, atas dalih bahwa rezeki itu merupakan pemberian Allah dengan tidak melakukan upaya apapun.

Pembahasan Akidah dan Syariat ini lebih jauhnya bisa kita aplikasikan dalam memahami Janji Allah dan bisyarah (kabar gembira) dari rasul, berupa kembalinya islam berjaya dalam naungan Khilafah Islamiyah. Keyakinan kita dalam mempercayai akan janji Allah dan Bisyarah Rasululah adalah akidah, sedangkan syariatnya adalah amalan kita dalam memperjuangkan tegaknya kembali Khilafah Islam. Sama saja, kita tidak bisa se'enak udel memperjuangkan Khilafah. Ada syariat islam yang menjadi patokan. Bagaimana thariqahnya (caranya), bagaimana amalan yang tepat yang akan mengarahkan kita pada kembalinya islam berjaya; apakah dengan shalat, puasa, nikah, atau yang lainnya. Karena perlu diakui bersama amal yang baik menurut islam itu banyak sekali, namun yang mesti kita lakukan tentunya harus sesuai. Kesesuaian antara thariqah untuk membuktikkan janji Allah dan Bisyarah rosul ini kajiannya adalah sumber syariat berupa Al-qur'an, Al-hadits, Ijma para sahabat, dan Qiyash. Karena sangat tidak mungkin Allah mengembalikan khilafah semodel sulap. Pun kita tidak bisa menyikapi janji Allah dan bisyarah rosul dengan cukup yakin saja dan memvonis orang yang berjuang itu tidak percaya Janji Allah dan Bisyarah rasul.

Karenanya dalam memahami agama kita tidak bisa seenak udel. 
Wallahu a'lam

(Sukabumi, 10 pebruari 2014)

0 Response to "SE'ENAK UDEL DALAM BERAGAMA"

Post a Comment