Membereskan Arena Tempur yang Memerah (Jambu)

Ada suatu ketidakrelaan yang coba saya bangun tentang kondisi saat ini yang mulai grambyang. Adalah tergesernya fokus  utama dalam misi dasar manusia oleh hal-hal kecil yang terlalu dieksplorasi, sehingga muncul potensi yang membahayakan. Potensi bahaya yang lahir ini menariknya bukan karena hal-hal mengerikan yang melanggar hukum syara, melainkan hal-hal sunnah --tentu bernilai ibadah-- namun diperlakukan tidak tepat. Adalah menikah. Satu perbincangan yang tak pernah selesai dikalangan umat manusia, yang selalu ramai, sensitif, dan memiliki porsi tinggi, karena menyangkut potensi dasar manusia berupa naluri berseksual/melanjutkan keturunan (gharizah an-naw) yang tak mungkin dihilangkan.

Bertolak dari realitas, saat ini kondisi umat sedang koyak, banyak dibodohi dan berdarah-darah, semestinya pilihan yang diambil sebagai seorang muslim harus segera kita pungkaskan dalam pembahasan bahwa problematika ini berhujung pada tidak diterapkannya syariat Islam secara penuh. Dan pergolakan, perjuangan, militansi gerak, dan propaganda seharusnya tercurah pada permasalahan inti; berupa penegakan kembali institusi yang menerapkan syariat Islam secara totalitas, yaitu khilafah. Tentunya mental-mental petarung yang meletakan dirinya sebagai pihak perubah dan bukan pihak yang mudah berubah menjadi penting untuk kita perhatikan. Namun apa daya, suatu pergerakan tidak senantiasa dinamis, selalu saja ada yang membelokan, tersebarnya virus merah jambu yang dieksploitasi oleh ketidaksengajaan kita dalam men-share berita ternyata berhujung pada propaganda yang membentuk perputaran cepat diribuan kepala pemuda muslim yang masih lajang bahwa mereka harus segera menikah. Tentunya ini menjadi bahasan tersendiri untuk kita garis tebal. Pasalanya, potensi terbesar tampuk perubahan jika kita kaji secara historis maupun lewat kajian empiris ternyata masih dimiliki oleh pemuda. Para pemuda disetiap daerah yang jumlahnya ratusan ribu itulah yang berkemungkinan bisa merubah tatkala mereka selesai terdidik dan berhasil mendefiniskan dirinya untuk total mendedikasikan dirinya pada Allah. Namun ketika yang terjadi pada jutaan pemuda adalah serempaknya perjuangan menuju pelaminan karena propaganda cepat menikah, yang ini berlangsung di atas darah-darah kaum muslimin yang masih mengalir hangat, apakah ini cukup beradab?

Selalu saya katakan bahwa hal ini cukup tidak beradab!. Adakalanya ketika sesuatu itu benar secara hukum, perlakuan kitalah yang membuatnya menjadi kacau, yaitu saat kita tidak bisa membaca situasi dan gagal menempatkan persoalan. Soal propaganda nikah, rasa-rasanya suatu hal yang tak mesti kita lakukan dalam kondisi saat ini. Saat kekalutan yang diciptakan kapitalisme-liberal telah menggerogoti pergaulan remaja dengan realitas yang cukup menampar muka, menghabisi nalar dengan data yang cukup mencengangkan, justru aborsi yang sudah mencapai angka lebih 2,5 juta dan jumlah perzinahan sudah membumbung tinggi inilah yang seharusnya menempatkan kita pada puncak pemikiran bahwa permasalahan multidimensi ini harus menempatkan kita fokus bergerak melawan pongkol masalah, yaitu perjuangan penegakkan syariat Islam. Dan lagi-lagi soal propaganda menikah, sekali lagi dengan hati-hati saya katakan bahwa saya bukan menolak menikah, namun menolak propaganda menikah. Alasan terbesar yang saya sampaikan adalah pertama, akidah kita yang masih kacau, kedua, kondisi yang tidak ideal.

Propaganda menikah akan tepat ketika kondisi keimanan masyarakat sudah kuat karena ada penjaganya berupa pemerintah yang takwa, sehingga motivasi menikah bukan lagi soal paras dan kemolekan tubuh, melainkan lillahi ta’ala. Dan perlu diingatkan kembali bahwa bicara niat dan motivasi kita dalam melakukan aktifitas tidak segampang mengedip-ngedipkan mata, kita akan dihadapkan pada kompleksitas bahasan, terlebih menyangkut metode berpikir, asas berpikir, dan terintegrasinya alur berpikir yang saat ini semua itu hampir dikuasai penuh oleh kapitalisme-liberal dengan asas dasar sekulerisme-materialisme. Lalu apa jadi ketika akidah pemuda masih berantakan, kemudian karena propaganda ia menikah dan melahirkan keluarga yang berantakan? Menyalahkan nikah muda? Saya rasa terlalu naïf! Karena menikah bukan persoalan usia, pekerjaan, dan strata kasta. Bagi para pemuda yang telah beres mendefinisikan keberadaan dirinya dan menyadari keterikatan dengan hukum syara, mereka sangat tidak membutuhkan propaganda. Dengan kesadaran yang berbalut ketakwaan mereka akan mempersiapkan diri dengan sendirinya karena sadar bahwa apapun yang dilakukan harus berusaha menggapai ridho Allah, begitupun dalam persoalan menikah.

Terakhir saya berpesan pada provokator nikah muda, mohon dengan segenap hati yang paling dalam, hentikan propaganda nikah muda dan alihkan semuanya pada perjuangan yang mengkrucut untuk diterapkannya Islam secara total. Mari bersama bereskan arena tempur, agar kita bisa lebih waspada membaca musuh, lebih detail dalam merinci hambatan, dan lebih tepat dalam memperhitungkan peluang.

Cukuplah persoalan menikah selesai dalam pembahasan hukum syara dan potensi yang dimiliki manusia, tidak perlu dipropagandakan. Karena kompor yang dinyalakan tanpa ada pengawasan berkemungkinan melahap dan membuat kebakaran. Tak perlu ada pengompor!

0 Response to "Membereskan Arena Tempur yang Memerah (Jambu)"

Post a Comment