B
|
agi saya, tampaknya tolol
jika kita berupaya menyuguhkan suatu pandangan konflik dunia dari teori yang bersifat naratif dan ensiklopedik
tanpa pernah menarik benang merah atas dasar apa semuanya bermula. Pertama-tama
karena, jika prinsip yang menjadi pedoman rujukan saya adalah gagasan-gagasan
yang terlahir dari masyarakat politis dari negara-negara yang mengusung
ideologi, maka praktis tidak akan ada batas bahan yang akan saya telusuri dan
menjadikannya sebuah karya, karena teori bersifat naratif ini dari
pengarang-pengarang yang dikatakan ilmiah, secara berjamaah mengambil sejumlah
teori dasar untuk menghakimi sebuah ideologi yang berlawanan. Ini mirip sekali
dengan gaya berpikir Orientalisme yang
pada intinya menghakimi timur dari sudut pandang barat dengan tanpa
berani mengubah kesan dari para pendahulunya yang ekstrim. Kedua, karena model
naratif dan ensiklopedik ini tidak akan cocok dengan kepentingan deskriptif dan
propaganda saya dalam menyebarkan ideologi Islam yang paripurna yang dengan
nista dipaksa tertimbun lama.
Maka
lepas dari semua itu, saya berusaha untuk memandang konflik dari sudut pandang
yang lain. Berangkat dari kalimat Taqiyuddin An-nabhani dalam bukunya Konsepsi Politik Hizbut Tahrir, Taqiyuddin menjelaskan bahwa,
"Konflik
internasional sejak awal sejarah hinga Hari Kiamat nanti tidak keluar dari dari
dua motif berikut: Pertama, cinta
kepemimpinan dan kebanggaan. Kedua,
dorongan di balik manfaat-manfaat material. Cinta kepemimpinan bisa berupa
cinta kepemimpinan terhadap umat dan bangsa seperti halnya Nazisme Jerman dan
Fasisme Italia. . .".
Saya
akan terus mengulang-ngulang bahwa manusia diciptakan beserta naluri, salah
satu naluri yang dimilikinya yaitu naluri untuk mempertahankan diri (gharizah Al-baqa). Ini pula yang
melahirkan dinamika antara satu manusia dengan manusia lain saling mengungguli.
Memang sesuatu hal yang wajar, karena ketika naluri mempertahankan diri
meningkat, ia akan spontan mencari cara untuk tetap bekerja secara aktif
mempertahankan keberlangsungan hidupnya.
Mengutip
apa yang dikatakan Taqiyuddin di awal tulisan ini, saya sampai pada kesimpulan
bahwa konflik manusia yang tak pernah usai ini dipacu oleh naluri
mempertahankan diri (ghorizah Al-baqa). Ketika
kita berbicara tentang dorongan dibalik manfaat-manfaat material, maka kita
akan langsung ingat bahwa AS dengan manuver-manuvernya sebenarnya bergerak
berlandaskan dorongan ini dengan mengusung ideologi kapitalismenya sebagai
landasan keyakinan untuk bergerak. Adapun mekanismenya dilangsungkan dengan
berbagai cara, baik itu invasi militer untuk menduduki pangkalan minyak sebuah
negeri, menyebarkan gagasan demokrasi, membuat konflik dengan strategi politik
pecah belah, atau pun membuat kebijakan skenario dagelan untuk menjerumuskan
sebuah bangsa kejurang jeratan hutang. Yang terpenting ketika semuanya berjalan
sesuai dengan apa yang telah mereka rencanakan, maka raupan materi yang
dihasilkan tidak akan pernah peduli sedikit pun dengan konflik yang dihasilkan.
Penelusuran
saya selama ini terkait pemicu konflik selain dari dorongan dari keuntungan
materi, yaitu cinta kepemimpinan dan kebanggaan ini diataranya saya temui pada Mein Kampt nya Adolf Hitler. Ia secara
jujur menuturkan bahwa ‘Jermanisme hanya dapat diselamatkan dengan penghancuran
bangsa Austria, dan lebih lanjut, bahwa sentimen nasional tidak sama dengan
patriotisme domestik; bahwa bagaimana pun juga House of Habsburg ditakdirkan untuk menjadi kemenangan bangsa
Jerman’. Slogan 'si vis pacem pera
bellum'atau dalam redaksi lain berbunyi
‘Qui Desiderat Pacem, praeparet bellum’ yang berarti jika
menghendaki perdamaian, bersiaplah untuk perang bisa dianggap benar ketika kita
membaca konsep Hitler.
Berangkat
dari semua ini maka lahirlah beberapa teori tentang konflik. Teori konflik
fungsional, yang menjelaskan bahwa konflik adalah suatu yang niscaya ada, yang
disebabkan adanya sifat agresi dari dalam diri setiap manusia, kerap pernah
menjadi teori rujukan sejak 1955 melalui pemikir barat, Georg Simmel. Simmel
dalam bukunya yang berjudul "Conflict
& the Web of Group-Affilations" berusaha mengembangkan teori-teori
yang dilandaskan pada bentuk-bentuk dasar proses sosial yang dikenal dengan
pendekatan sosiologi formal. Juga tak kalah ramai, teori konflik kelas yang
diusung oleh Karl Marx pernah juga jaya yang pada akhirnya runtuh dan tidak
lagi relevan dengan situasi abad 20. Dalam teori kelasnya Marx, konflik ini
semata-mata karena adanya kelas/strata kasta, maka tak ayal muncul konklusi
bahwa perjuangan untuk menghilangkan kelas borjulis-proletar adalah revolusi
abadi umat manusia.
Berdasarkan
pengamatan saya pada beberapa karya tulis yang khusus membahas konflik, saya
lebih condong memandang bahwa konflik berasal dari sifat ‘ashobiah’ yang tinggi, atau dalam istilah kita dikenal dengan
sebutan berbangga terhadap kelompok, yang ini berlandaskan gejolak manusia
dalam menyukupi naluri mempertahankan diri. Ashobiyah
ini merupakan sebuah ikatan yang rapuh dan bisa jadi sangat sentimen dengan
ke-egosentrisannya yang tak masuk akal, yang kebanyakan hanya menyandarkan pada
kesamaan fisik, budaya, ras, silsilah, namun yang lebih banyak sekarang ini
adalah kebanggaan terhadap kelompok yang berlandaskan kepentingan.
Ketika
letak permasalahan dipandang dari segi ashobiah
maka teori Marx dengan Teori Konflik Kelasnya bisa dengan mudah dipatahkan.
Pasalnya adanya kelas antara kaum borjulis-proletar ini disebabkan oleh adanya ashobiyah. Maka dari itu saya sampai
pada simpulan bahwa ini adalah bagian kecil dari hikmah mengapa nabi Muhammad
melaknat ashobiyah.
"Bukan
termasuk umatku siapa saja yang menyeru orang pada ‘ashabiyah'”
(HR. Abu Dawud).
Namun
perlu diketahui sikap ashobiyah/berbangga
terhadap kelompok ini tidak melulu muncul karena sikap hati dan moralitas.
Terkadang konflik muncul yang disebabkan oleh ashobiyah ini adalah karena memang kondisi objektif kedua belah
pihak yang berbeda. Misalnya dalam era kehidupan kapitalisme saat ini, jika
dilihat dalam kacamata netral, berbagai protes yang terjadi dari kaum buruh
bukan semata-mata karena kaum buruh iri hati terhadap kaum borjulis, atau
sebaliknya, eksploitasi kaum borjulis terhadap kaum buruh bukan karena kaum
borjulis serakah, karena fakta sebenarnya adalah bahwa setiap kelas sosial
bertindak sesuai dengan kepentingannya yang ditentukan oleh situasi yang
objektif. Kelas borjulis misalnya, berkepentingan untuk mengusahakan laba
sebanyak mungkin bukan karena mereka rakus secara pribadi, melainkan hanya
dengan mencapai keuntungan yang besar mereka dapat mempertahankan diri dalam
persaingan di pasar, ya lagi-lagi ini terkait naluri mempertahankan diri (ghorizah Al-baqo).
Sampai
sini kita mengerti bahwa konflik ini terjadi atas dasar ashobiyah atas dorongan ghorizah
Al-baqo, maka langkah menghilangkannya adalah dengan meninggalkan ashobiyah. Adapun uraiannya adalah
setelah kita mengetahui dengan sangat yakin bahwa ashobiyah ini adalah sumber konflik, pendekatan yang paling
realistis di era saat ini adalah mendudukan secara benar mana yang terkategori ashobiyah dan mana yang tidak
terkategori. Ketika melihat skema ashobiah
level dunia dari segi historisnya, sejatinya terdeteksi muncul pada awal abad
20, sewaktu Kekhilafahan utsmani runtuh. Negara yang sedemikian besar itu dibagi-bagilah
di bawah pengawasan Inggris dan Prancis. Kiranya sangat penting bagi saya untuk
menyinggung hal ini. Karena kita bisa melihat bagaimana Kekhilafahan Utsmani
yang jelas memegang Ideologi Islam dalam pemerintahannya telah melambangkan
terror bagi Ingris dan Prancis. Cuplikan Edward Said, dalam bukunya, Orientalisme sangat membantu saya dalam
menjelaskan. Said menyebut “bukan tanpa sebab bahwa Islam telah melambangkan
Teror, pemusnahan, dan gerombolan orang barbar yang kesetanan dan patut dibenci.
Bagi Eropa, Islam adalah Trauma abadi…” Said juga mengutip Jean-Baptiste-Joseph
Fourier dalam Preface historique (1890),
Description de l’Egypte yang mendukung karyanya, menyatakan bahwa “…jenius-jenius eropa yang resah dan
ambisius…yang tak sabar ingin segera menggunakan alat-alat penyiksaan baru….
Saya
pernah lama merasa ragu-ragu untuk angkat bicara mengenai salah satu ashobiah yang termaklumi, Nasionalisme
yang santer dipropagandakan dan menjadi kebanggaan. Saya tahu bahwa pada
awalnya gagasan ini lahir dari segelintir orang saja. Saya tahu bagaimana
caranya gagasan yang terlahir dari hanya segelintir orang ini bisa menjadi
heboh dan diamini semua penduduk bumi. Saya tahu bagaimana menyebarkan lewat opini propaganda.
Namun yang saya tidak berani untuk menggali seberapa besar dana yang
digelontorkan, seberapa tangguh orang-orang yang ada di belakang, dan seberapa
besar pengorbanan yang dilakukan para pelopornya. Yang saya tahu bahwa konsep
‘nastional state’ adalah cara termudah bagi negara imperialis untuk menjarah,
di samping mereka lebih bisa terfokus, kesibukan mengurus urusan internal
sebuah negara juga bisa menimbulkan konflik dengan Negara yang siap disutradai
untuk berperang. Ketika sentimen nasionalisme sudah mengakar, maka cukup mudah
bagi para Negara imperialis yang oportunis untuk mencari kesempatan menjarah,
cukup angkat satu tema, baik itu isu pencurian tarian, sepak bola, atau pun
yang lainnya, gulirkan setiap hari, pantengin
di media pemberitaan sehingga setiap masyarakat dengan isu murahan ini merasa
terancam dan muncul bibit-bibit nasionalis yang fiktif, maka sudah pasti dua
negara yang dirundung konflik tersebut akan siap angkat senjata. Yang paling
menyakitkan adalah sang sutradara akan menyelinap, berpura-pura menjadi
penengah, padahal sejatinya telah menyiapkan jutaan karung untuk menjarah.
Karena
dalam kajiannya yang mendalam, nasionalisme merupakan sebuah ikatan yang
terjadi tatkala manusia menetap di suatu wilayah dan tak beranjak. Ketika itu
terjadi maka naluri mempertahankan diri naik kepermukaan, sehingga siapa saja
yang mengancam akan dihantam dan diusir. Ritual ini terjadi dalam dunia
binatang, naluri mempertahankan diri akan muncul ketika gurita, cicak, landak,
katak, ikan, ular, dan monyet terancam. Lagi pula saya tidak pernah menemukan
kisah seorang pejuang yang bergerak dengan motif lain selain dari naluri
mempertahankan diri, baik itu atas alasan mempertahankan bangsa, anak cucu,
ataupun kekayaan. Jika bicara dengan kaum muda saat ini tentang nasionalisme juga tidak akan nyambung.
Generasi muda saat ini hanya memahami nasionalisme sebatas upacara bendera,
bulu tangkis, dan sepak bola.
Berbeda
dari nasionalisme, ikatan yang terbangun dari Ideologi nilainya tidak rendah
dan disama ratakan dengan binatang, hanya karena dorongan naluri mempertahankan
diri. Ikatan yang terbangun dari ideologi berawal dari kesadaran penggunaan
akal yang sangat telaten dan mendalam, dimulai dari menjabarkan asal muasal
kehidupan, manusia, dan alam semesta, hingga sampai pada mekanisme penyajian solusi
dari semua problematika yang muncul. Sehingga ikatan yang timbul akan
senantiasa kuat, terus berkembang, dan tidak hanya sebatas euphoria doktrinasi
abal-abal yang tanpa nilai.
Setiap
pengemban ideologi kapitalisme tulen pastinya telah mengetahui bahwa
nasionalisme dipakai untuk mempermudah inquisisi
sebuah wilayah. Dan Islam telah menawarkan pilihan bahwa ashobiah adalah terlaknat. Tentunya
sangat kontras bertentangan.
Maka
jika sudah begini akan sangat wajarlah penghantaman dan ajang adu jotos intelektual
yang terlahir dari pemaknaan hidup yang berbeda, yang sebelumnya telah kita
bahas, tidak semodel filsafat yang hanya sebatas mempertanyakan. Gaya seperti
ini berperan untuk mengkritik, menghakimi, dan mengalahkan ideologi yang
bersebrangan. Karena ini berdasar pada aspek keyakinan yang mendasar sekali dan
bisa dipertanggung jawabkan. Karena kita tidak bisa lepas dari konflik, maka
konsep cinta, humanisme, kasih sayang, keprihatinan, kesejahteraan, tidak akan
pernah muncul tanpa kita bisa mengusir bibit-bibit konflik, berupa menarik
garis pembatas dari naluri mempertahankan diri yang keblinger lewat perlawanan
terhadap dominasi Ideologi.
Jika
sudah begini, bukankah wajar dan masuk akal pengunggulan satu manusia terhadap
manusia lain? atau pun pengunggulan suatu bangsa atas bangsa lain dengan
catatan pertaruhan makna hidup?
Ah, atau....
Mungkin
saja. Mungkin saja dulu kita marah, kawan-kawan kita marah, pada dunia ini,
bukan benar karena dunia ini terasa tidak adil, melainkan karena sesungguhnya
di lubuk hati yang terdalam, kita sadar dengan mengemas masa depan secara distopia bahwa kita tidak mampu, dan
kita sadar bahwa kitalah yang pertama-tama akan tersingkir dari arena
pertempuran dunia. Kita sebenarnya frustrasi, menikmatinya sangat dalam, yang
menenggelamkan kita dalam kepasrahan untuk menerima nasib yang sebenarnya
bukanlah penantian. Kita tidak siap, lemah keyakinan, susah dalam mengorganisir
dan malas mendakwahkan ideologi ini. Kemudian kita marah karena kita takut,
koar-koar bahwa revolusi adalah kotoran jijik, membuang muka untuk diajak
diskusi. Masalahnya, hidup ini tidak bisa dijalani oleh para penakut, bukan?
Semua
ini harus kita tata dari awal, konsep hidup yang saat ini semakin hari semakin
parah bisa menimbulkan konflik hebat yang berkelanjutan, bahkan dari hal sepele
sekali pun. Maka cara yang paling rasional adalah memahamkan umat akan
pentingnya kebersatuan yang tidak berlandaskan ashobiah, tentunya bagi kita yang telah membaca jauh adalah
berlandaskan keyakinan atas pemaknaan hidup yang telah dipecahkan, yang dalam
aplikasinya mampu menembus bahkan meloncati jauh batas-batas semu 'ashobiah'. Lewat keyakinan mendasar
pula kita dituntut untuk bersatu, menjadi umat yang satu, tanpa membedakan
warna kulit, bangsa, ras, atau pun sentimen nasionalisme. Tentu lewat semua ini
Khilafah, sebagai pemersatu umat
adalah di samping kewajiban juga menjadi keperluan bagi kita dalam
menyelesaikan konflik.
0 Response to "Sekilas Tinjauan Ideologis Konflik Dunia"
Post a Comment