S
|
alah
satu aspek dari dunia yang telah mengalami masa revolusi informasi atau bisa
dikatakan tatanan dunia pasca-modern yang elektronis dan teknologis ini adalah
penguatan stereotif-stereotif yang dijadikan alat untuk menghakimi negara
sasaran ekspansi, pelepasan nafsu negara imperialis untuk menjarah. Internet,
televisi, film-film, dan semua sumber media baik koran elektronik, maupun koran
cetak telah memaksa para penyajinya untuk berjamaah menyamakan konsep, dalam
istilah Said:1985 yang tertuang dalam Orientalisme
adalah ‘semua sumber media telah memaksa informasi untuk mengambil pola yang
makin lama-makin terstandarisir’.
Soal pola yang terstandarisir ini,
Adian Husaini pernah menyampaikannya secara gamblang bahwa opini publik,
menurut Clyde L. King, pakar publisistik pada Universitas Pensylvania, adalah
penilaian social (social judgement)
mengenai suatu masalah. Opini publik bukanlah kata sepakat dari orang-orang
publik. Opini publik dapat merupakan mayoritas pendapat, tapi bukan mayoritas
pendapat yang dapat dihitung secara numeric
menurut jumlah. Jadi tidak bisa dikatakan kebenaran absolute ketika media
berkoar bahwa Indonesia ini adalah negara yang sedang menuju proses berdikari,
yang padahal komposisi masyarakat dan para intelektual sebagian besar
berpendapat sebaliknya, semisal dalam kisaran 55% yang tidak tersorot media,
akan tetap kalah dan tersembunyikan. Karena itu, opini publik bukalah suatu numerical majority, melainkan effective majority. Lebih jauhnya,
Adian mengutip Lippman dalam bukunya, The
Phantom Public, menyebut opini publik sebagai “hantu” yang suatu ketika
dapat muncul tanpa diduga dan menghilang tanpa bekas.
Berangkat dari ini Husain Matla dalam
sebuah kolom di dakwahmedia.com
tertanggal 27 agustus 2014 pernah bertanya secara argumentatif soal isu
kemerdekaan yang santer menjadi opini publik.
“Coba kita cermati, apakah Indonesia
sekarang itu masih sebuah negara? apakah masih berbentuk kesatuan? apakah
re-publik? dan apakah di tanah indah yang dikenal sebagai Nusantara ini masih
ada kedaulatan dan kesatuan kehendak? adakah yang namanya politik luar negeri
Indonesia, politik dalam negeri Indonesia, kebijakan pangan Indonesia
Kayaknya semua orang akan menjawab
seperti iklan sebuah partai biru tentang korupsi: TIDAAAKKK !!!”
Sebuah pertanyaan yang sederhana namun
telah kehilangan argumen dari setiap anak bangsa untuk menjawab sebaliknya.
Matla juga dengan nakalnya mendefinisikan kekinian bangsa ini dengan kalimat
satire yang jujur dan bersahaja.
“De facto: NKRI telah tiada. Yang ada
hanyalah sebuah perkumpulan 400-an kabupaten dan kota, di bawah arisan
kekuasaan kerajaan-kerajaan yang bernama partai politik, di dalam kendali penuh
para konglomerat internasional. Dan Indonesia hanya menjadi sebuah tempat…, tempat
adu kekuatan penjajahan puluhan korporasi besar, sebagaimana dulu menjadi
tempat adu kekuatan penjajahan beberapa negara Eropa”
Maka ketika semua ini menjadi sangat
jelas, kejujuran saya dalam memandang Indonesia masihlah menggunakan kemasan dispesia, yaitu penggambaran nasib
Indonesia ke depan dengan penggambaran begitu menyeramkan.
Saya punya cerita menarik ketika sudut
pandang saya seperti itu diketahui oleh beberapa kawan. Sudah banyak yang silih
berganti masuk kost, duduk bareng, dan mengobrol panjang lebar, kemudian
menasihati bahwa kita tidak boleh pesimis terhadap negeri ini, harus tertanam
jiwa optimis, karena tanpa itu semua kita tak bisa bangkit dari keterpurukan.
Tapi apa? Lepas semua ritual menggurui itu, mereka keluar kost dengan perasaan
dan raut muka yang biasa, kemudian kembali masuk dalam rutinitas yang ter-plot
dan memabukkan; mereka sibuk dengan game, nonton, pacaran, hangout sambil genjreng-genjreng
main gitar dan tawa lebar yang bergumul diselimuti kartu remi di meja kafe.
Bahkan saya masih sangat hafal basa-basi penolakan undangan untuk diajak dialog
mengenai kebijakan yang bergulir setiap saat yang melintas di depan mata
mereka. Saya masih ingat betul beberapakali undangan mengenai kritik terhadap
rancangan APBN, kenaikan BBM, TDL, dan LPG tidak pernah mendapat respon hingga
kini.
Jadi sudah jelas, bahwa pertaruhan
nasib Indonesia tidak bisa dilakoni dengan hanya kepura-puraan argumen,
menjelaskan kebohongan dengan balutan data yang memukau. Padahal dalam kurun
waktu yang tak lama, lewat tangan merekalah rakyat telah dididik untuk terlalu
curiga dengan pelacuran kata yang terselubung. Saya sampaikan lagi; sudah lama
rakyat tahu bahwa kata-kata indah yang menukik itu hanya milik Romeo dan
Kahlil, sedikit juga di warisi Majnun.
Situasi dan kondisi kekinian Indonesia yang harus dilalui
dengan pengkajian mendasar lewat pembacaan ideologis kiranya membutuhkan waktu
dan tenaga. Dan saya hanya bisa memaparkan secara skematis saja, itu pun dengan
kekurangan dan keterbatasan yang saya miliki.
Siapapun yang pernah tinggal di Indonesia dan mengenyam pendidikan
politik lewat pembacaan ideologis akan sampai pada kesimpulan kekeliruan bangsa
Indonesia yang terlampau jauh.
Ya, apabila dikatakan bahwa seseorang yang besar adalah ia
yang mampu mengakui dan menerima kesalahannya, maka bukankah sebuah bangsa yang
besar seharusnya adalah juga sebuah bangsa yang mampu mengakui dan menerima
kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya di masa lalu?
Kesalahan terbesar yang dilakukan bangsa ini adalah terlalu
banyak kompromi, mengadopsi pemikiran-pemikiran yang terlahir dari barat yang
lahir dari situasi pemaknaan hidup yang berbeda, kemudian melakukan coba-coba
untuk diterapkan. Ketika satu teori dirasa gagal maka presiden lewat jubirnya
akan mencoba lagi teori lain yang sudah dipastikan gagal pula, karena saat ini
semua teori yang diadopsi adalah teori yang lahir dari ideologi Kapitalisme
yang padahal saat ini tengah collaps dan hampir runtuh.
Jika kita mau untuk kembali membuka
fragmen sejarah, sejarah menyatakan bahwa Indonesia, negeri yang terlintas pada
garis katulistiwa dengan memiliki 13.466 pulau ini, lahir dari dorongan AS
lewat tentara sekutunya dan Uni Soviet untuk melakukan revolusi melawan Belanda
dan Jepang. Kita hilangkan sejenak aksi heroik yang diputar menjadi opini
publik mengenai pahlawan Indonesia, semacam Soekarno, Syahrir, Hatta, dan yang
lainnya. Kita sedikit beranjak meninggalkan subjek sejarah dan meletakan
pembacaan ini dari kacamata skema konsepsi politik internasional yang lebih netral
dan ilmiah.
Singkat waktu ketika uluran kesempatan
itu dimanfaatkan, Indonesia melancarkan revolusi yang sengit dengan dukungan
Uni Soviet dan AS, meski sejatinya kedua negara besar ini saling bertentangan.
Pada akhirnya Indonesia berhasil juga mengalahkan Belanda secara militer dan
mengajukan permasalahan ini ke PBB. Indonesia lalu mendapat dukungan dari AS,
dan PBB pun kemudian memutuskan kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian Belanda
keluar dari Indonesia dan tidak memiliki jajahan lagi, kecuali Irian Barat.
Namun Indonesia segera saja berupaya merebut Irian Barat dengan dukungan AS.
Dan AS terus berada di balik Indonesia hingga Indonesia berhasil mengusir
Belanda dari Irian Barat bahkan sampai saat ini.
Adapun mengapa bisa perseturuan dua
ideologi yang bertentangan, antara blok barat dengan Kapitalismenya dan blok
timur dengan Sosialismenya bisa bekerja sama dalam memberikan kesempatan kepada
Indonesia untuk merdeka, itu bahasan lain. Yang pasti kita bisa lihat dalam
arsip nasional berupa cuplikan pidato keberpihakan Soekarno lebih kepada
Sosialisme dan sangat membenci barat dengan Kapitalismenya. Dengan gagasan
NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis) yang diulang-ulang, seakan Soekarno ingin
menjelaskan pada kita bahwa bagaimanapun kita mendeklarasikan gerakan non blok, toh pada dasarnya kita tak bisa
berdikari soal hegemoni Ideologi dunia. Kapitaliskah, atau Sosialiskah?
Memang tak bisa dibantah, bangsa ini
dari dulu hingga sekarang adalah wilayah yang direcoki oleh banyak kubu. Dahulu
saja pada abad ke 7 Indonesia menjadi wilayah perdagangan yang strategis,
berbagai budaya, pemikiran, dan penjajahan mulai masuk. VOC yang datang membawa
misi, diikuti portugis, belanda, dan jepang yang juga pernah merongrong. Hingga
sampai saat ini pun Indonesia adalah lahan strategis untuk tetap direcoki,
meski dengan bentuk yang lebih rupawan dan halus karena dipoles masker bernama
makar imperialisme.
Dari seting seperti ini wajarlah bahwa
bangsa Indonesia belum masuk pada tahap Negara yang berdikari, baik dari segi konsep,
kepemilikan sumber daya, apalagi pemberdayaan manusiaanya. Indonesia adalah
sebuah negeri yang menghimpun beberapa ide dari para pelancong yang
menawarkannya. Dominasi IMF juga masih terasa dalam disetiap sendi-sendi
anggaran belanja Negara hingga saat ini.
Dari pembacaan yang singkat tadi, maka
ada pemakluman yang besar bahwa pola hidup dari masyarakat yang terecoki akan
menghasilkan kebingungan. Bahkan bukan hanya masyarakat biasa, Istilah Intelectual confuse juga menjangkit
dikalangan kaum terpelajar. Sudah sepatutnya jangan bertanya lagi tentang
kondisi masyarakat bingung. Inilah saat-saat terbaik untuk bermuhasabah membaca
diri lewat rekam jejak sejarah yang tak kunjung berpihak pada kesejahteraan.
Inilah saat-saat tepat saat semua menjadi kacau, saat kondisi masyarakat sangat
frustrasi, kemudian menimbulkan efek domain dari dadu yang telah digulirkan;
saat yang hebat pura-pura jadi keparat, tak sedikit yang bodoh berkamuflase
untuk diakui kompeten. Jangan heran, inilah dunia pewayangan, penuh mitos,
distori, dan banyak fantasi.
Mau
apa kita?
Diam
dulu, Tariklah nafas, belajarlah, dan mari REVOLUSI.
Yang terbaik dalam mengubah nasib
bangsa adalah sadar akan kesalahan, dan sibuk untuk belajar, giat dalam beramal
atas landasan bahwa kita semua tak bisa hidup tanpa adanya dzat yang maha menciptakan.
Dari membaca dominasi Ideologi ini maka
perubahan adalah suatu keniscayaan. Kita tidak perlu bergerak penuh ketakutan
untuk menciptakan sebuah perubahan. Saya akan menutup dengan sebuah sajak dari
Pepei Dwipanga yang ditulis pada tanggal 16 agustus 2014 di laman facebooknya,
Saya menduga kuat,
Pada masanya,
Sebagian manusia di dalamnya berkata:
Persia Harga Mati...
Umayyah Harga Mati...
Abbasiyah Harga Mati...
Mongolia Harga Mati...
Romawi Harga Mati...
Ustmaniyah Harga Mati..
Sriwijaya Harga Mati...
Singosari Harga Mati...
Majapahit Harga Mati...
Demak Harga Mati...
Hindia Belanda Harga Mati...
Indonesia Harga Mati...
Hingga pada kenyataannya,
Semua itu telah Mati,
Hancur bersisa Sejarah semata,
Dan ini biasa dalam Peradaban Bumi....
*Ini bukan tentang Materialisme
Historis
Semarang, September 2014
Aab
0 Response to "Dominasi Ideologi di Indonesia"
Post a Comment