S
|
emakin
canggihnya bentuk penjajahan membuat kita kesulitan mengklasifikasikan mana
kawan dan mana lawan. Penggolongan musuh dan makar saat ini terselimuti oleh
aliran kebatinan dengan gagasan fiantropi.
Yaitu aliran cinta damai semu yang mulai kentara sejak beberapa dekade silam
Unesco menyerukan agar dalam mempempelajari sejarah hendaknya dihilangkan rasa
benci dan permusuhan. Saya hanya mencoba menyerukan bahwa kita tak boleh
percaya dengan omong kosong itu semua. Maksud saya bahwa kita dengan keluguan
sementara yang kita punya dalam memahami fakta, tidak boleh lepas dari
pemaknaan kehidupan yang sebelumnya telah panjang lebar kita bahas. Ini tak
lain supaya kita lebih hati-hati terhadap makar.
Memang kenyataan saat ini masyarakat
sudah terlalu benci dan merasa jijik dengan perang dan permusuhan. Kita telah
banyak mengamati beberapa LSM, ormas, dan kelompok-kelompok telah
medeklarasikan visi bersama untuk perdamaian dunia, berupa cinta, kerja harmonis,
dan kasih sayang. Ini kejujuran yang terlahir dari apa yang dimimpikan masyarakat. Di saat
angka kriminalitas sedang melambung di awang-awang, mulai dari penculikan,
pemerkosaan, penjambretan, mutilasi, korupsi, sampai pada ‘yang katanya’
kebiadaban kemanusiaan bar-bar timur tengah yang selalu televisi doktrinkan,
maka adanya tawaran itu begitu memancing perasaan masyarakat akan perdamaian,
ketenangan, cinta, kasih sayang yang saban hari mereka impikan, ya, katanya supaya
otak tidak setres.
Ini belum seberapa, kita bisa lebih
dikejutkan dengan konsep mereka dalam menjalani misi pergerakan. Jika
kebanyakan teori shohih menyatakan bahwa dalam sebuah perkumpulan yang baik
haruslah memiliki fikrah (pemikiran) dan thariqah (jalan), maka mereka akan
cepat menyatakan diri: “kami tidak perlu pemikiran-pemikiran, strategi-strategi
dan banyak bualan tentang cara-cara yang baku dalam menjalani hidup ini. Hanya
cinta, cintalah yang bakal membangun sebuah peradaban indah”. Gila! Saya seakan
sedang masuk dalam skenario sutradara bolywood.
Sejak drama HAM menjadi lebih indah
dari drama korea, sejak Liga Bangsa-Bangsa terlihat sebagai komunitas penuh
cinta melebihi pesona Cleopatra, sejak itulah muncul banyak kegilaan. Dunia
akan tetap sama dalam penderitaan selama mitos cinta dan Keluarga Internasional
masih ada, selama negara-negara adidaya masih terus berkompetisi dan
mencengkram dunia, dan selama imperialisme masih ada, meskipun bentuk-bentuk
dan caranya berubah-ubah. Inilah fakta.
Kita memohon bersama pada Allah agar
apa yang kita pahami tidak termasuk perbuatan sia-sia dan buruk yang dianggap
baik dan shohih. Di sini saya hanya menyandarkan pada analisis-analisis yang
bolehlah dikata dagelan dan konyol tentang kecemasan-kecemasan yang tapi sangat
masuk akal. Ketakutan demi ketakutan yang muncul dalam benak saya akhir-akhir
ini adalah tentang perdamaian itu sendiri, tentang propaganda cinta kasih yang
ditakutkan palsu dan menghina. Saya melihat
kok fokus yang terlampau positif ini telah berputar pada satu putaran cepat
yang tak terkontrol berupa inquisisi
fakta dan pemakzulan terhadap penjajah. Maksud saya seperti di awal telah dikatakan
bahwa penempatan
fokus yang terlalu positif ini adalah
perasaan tanpa curiga di setiap komponen masyarakat, terhadap negara-negara
yang mengusung ideologi tertentu.
Yang karena pembiaran ini para bandit merasa puas tertawa karena setiap tahun
statistik hasil penjarahannya meningkat tajam.
Pada kenyataan saat ini, kita mendengar
banyak berseliweran opini sendu tentang kelirihan atas nama tuhan padahal
adalah ketakutan terancam dan kepasrahan yang menyalahi takdir. Saya telah
menemukan banyak opini bahwa makar dan musuh biarlah Allah semata yang tahu dan
membalasnya, tanpa sedikit pun tergerak hati untuk membesarkan bola mata
melihat kedzaliman yang nampak. Maka kiranya perlu bagi kita untuk membagi mana
koridor keyakinan dan mana koridor amal sholeh. Dalam memahami makar, memanglah
suatu kepastian bahwa yang bermakar terhadap Allah, Allah sendiri yang akan
membalasnya. Namun dalam koridor pencegahan supaya penistaan terhadap nilai
kemanusiaan tidak terjadi, kita dituntut pula untuk beramal sholeh yang
tentunya harus nyambung dengan topik masalah. Persis seperti pemahaman kita
terhadap rezeki. Dalam hal keyakinan bahwa rezeki itu datang dari Allah adalah
wajib kita yakini, namun untuk mendatangkan rizki itu kita dituntut beramal
soleh yang nyambung berupa mencari nafkah yang halal. Maka demikian pula dalam
melihat musuh dan makar, kita tidak bisa hanya meyakini dengan pasrah bahwa
makar manusia akan dibalas oleh makar Allah yang lebih pedih, dengan menafikan
dan pura-pura tidak melihat kedzaliman yang padahal peta konsepsi politik
internasional telah ada di depan kita untuk kita baca sebagai ladang amal soleh
yang harus kita garap.
Berangkat dari pemahaman ini, saya
punya cerita menarik. Semester tiga yang lalu saya mengadakan dialog yang
dihadiri beberapa gelintir mahasiswa saja. Ini dilangsungkan untuk memperingati
hari kebangkitan nasional yang katanya peran pemuda sangat vital pada masa itu.
Kita telah melangsungkan pembicaraan panjang dalam membahas peran pemuda dan
membenturkannya dengan realitas kekinian. Hantaman-hantaman kalimat menyakitkan
yang saya rasakan adalah kebisuan mahasiswa kini. Dan saya sebagai salah satu
peserta diskusi kemudian ikut andil berbicara dalam forum bahwa kita sebagai
mahasiswa haruslah menata ulang kembali jalan yang ditempuh para pendahulu
berupa revolusi yang harus digulirkan ulang. Tiba-tiba salah satu peserta diskusi
yang telat datang menimpal dengan tergesa. Ia menyatakan bahwa yang pertama
harus kita kaji adalah siapa musuh kita. Pada masa lalu musuh kita semua sangat
jelas, yaitu rejim tiran yang menyengsarakan, sedang saat ini?. Kemudian
menutup pembicaraan dengan kalimat yang sebelumnya tak saya duga. Kurang lebih
isinya “jangan asal revolusi, tentukan musuh dulu!”. Kemudian lepas itu ia
pergi meninggalkan diskusi.
Ada perasaan sayang, dan juga sedikit
dongkol. Bukan terhadap peserta misterius dalam diskusi, namun terhadap jawaban
yang belum terlontarkan yang mengganjal nanggung. Ini benar terjadi.
Dari sinilah saya tergerak untuk
menulis berupa penjelasan akan musuh yang sedikit sulit terdefinisi. Bahwa
karena kecanggihan penjajahan membuat kita harus memakai kacamata yang lebih
canggih pula.
Ada banyak fenomena yang harus kita
waspadai semodel kewaspadaan penjajahan yang dipahami sebagai demokrasi,
ataupun eksploitasi yang dimaknai pembangunan. Dari fenomena yang harus kita
waspadai ini saya melihat bahwa hulu ledaknya terletak pada ideologi yang
menggerakkan aktifitas nista tersebut. Bahwa dengan makar yang cantik negara
yang mengemban ideologi kapitalisme telah menebarkan benih kedamaian semu dan
menghilangkan kecemasan saat barang sendiri dijarah bandit. Bahwa dengan makar
yang tersembunyi Negara yang mengemban ideologi sosialis telah memberikan
sinyal perang gerilya terhadap Kapitalis. Bahwa dengan tidak ada Negara yang
mengemban ideologi Islam semakin membuat pedih luka yang diderita para
pengembannya.
Kita telah lama melupakan bahwa Negara
yang mengemban ideologi kapitalisme sejatinya mengancam keberlangsungan kita,
kita telah lupa bahwa sosialisme selalu menghantui dalam geraknya, kita telah
lupa bahwa kualifikasi negara yang memegang ideologi dan yang tidak mengembannya
itu sangat berbeda. Dan kita terlalu peduli mendengarkan suara-suara sumbing:
Apa yang dapat kita lakuakan dari dominasi negara adidaya, sedang kita ini
lemah tak berdaya?
Setidaknya saya berpendapat bahwa
radikal itu diperlukan. Bahwa jika ada yang menempeleng muka, minimal jagalah
rasa benci kita yang suci. Ceritakanlah kepada keluarga, teman, dosen,
professor, tokoh masyarakat, pemuka agama, bila perlu ceritakan pula pada
tentara, densus, wakil rakyat, hingga presiden. Tentang landasan kebencian
kita, tentang begitu bisa terbacanya musuh kita, tentang konsep yang kita
tawarkan.
Sekarang ini kapitalisme menginjak kita
dengan manipulasi demokrasinya yang dalam kalimat Emha adalah manipulasi lewat
sihiran kata-kata, gambar, warna, dan bunyi, ditelan oleh oleh egosentrisme dan
kesepihakan, dipenjara oleh ketidakmengertian, yang akhirnya dikonsumsi dan
diyakini sebagai kebenaran. Sedangkan hari ini di sekolah negeri ini para
pengajar mengajarkan pada anak-anak bangsa yang lugu lagi suci tentang kebesaran
peradaban mereka yang agung, ide-ide mereka yang cerdas, idealismenya yang
tinggi, atau pun ketentraman yang indah, padahal itu semua kebohongan total.
Kemudian banyak di antara generasi kita kagum pada bandit yang telah menjarah
itu, tergila-gila oleh hiburan vulgar yang dihasilkan, musik-musik yang dibuat,
dan ketololan tayangan berita yang mengkhawatirkan.
Ya, setidaknya kita harus memelihara
rasa benci yang suci, menjaganya tumbuh
untuk dimiliki setiap anak bangsa. meski tuduhan radikal, fundamentalisme, dan
teroris dituduhkan secara jelas pada kita. Yang kita sendiri kadang tidak
pernah mengerti dengan definisi tuduhan yang mereka tujukan pada kita itu.
Soal prinsip persaudaraan kemanusiaan,
sesungguhnya ideologi Islam telah mengenal 14 abad lebih lama dari dari PBB.
Ideologi Islam telah lama mengamalkannya baik pada para pengembannya maupun
pada orang yang tidak mengembannya. Namun ideologi Islam telah mengajarkan
kepada manusia bahwa kita mempunyai kewaiban untuk memerangi orang yang
melakukan agresi terhadap kita. Kita jangan mempercayainya terlebih melakukan
kenistaan berupa syahdunya senggama bersama musuh. Seperti yang tertuang dalam
Al-Qur’an:
“Allah hanya melarang kamu untuk
bersahabat dengan orang-orang memerangi kamu dalam agama, dan mengusir kamu
dari kampung halaman kamu, dan orang-orang yang membantu mengusir kamu itu.
Barangsiapa yang berteman dengan mereka, maka mereka ini adalah orang yang
aniyaya.”
(Q.S. Al-Mumtahanah: 9)
Musuh kita telah jelas, dan bisa kita
baca seberapa banyak negara yang mengemban ideologi kapitalisme dan sosialisme.
Inilah yang harus kita ingat setiap hari bahwa musuh kita telah jelas dan
lugas.[]Aab
0 Response to "Berkenalan Dengan Musuh dan Makar"
Post a Comment