PEMUDA INDONESIA, POTRET GENERASI IMBISIL

*Sebuah catatan tentang generasi penerus di negeri main-main



Di negeri kita, sekelompok anak ABG dengan memakai baju yang sama,putih abu, putih biru, hingga putih merah, saling berkubu. Tidak berkelompok untuk keperluan riset ataupun belajar bersama, namun mencoba melakukan uji peperangan melawan musuh. Mereka besemangat, seolah berperan menjadi aktor utama para patriot di buku sejarah. Pemicunya tidaklah bermutu. Musuh mereka adalah siapa saja yang berbeda warna kupluk berbeda nomor sekolah, atau sesekali konflik berawal dari rebutan pacar, balapan motor, inkuisisi wilayah tongkrongan, sampai pada batas yang tersinting adalah pertempuran yang terjadi karena rebutan korek untuk merokok. Media yang digunakan untuk tempur pun tidak ideal, tidak jantan melawan dengan kepalan tangan kosong, yang mereka gunakan adalah bata merah, gear sepeda bahkan dengan golok berculah. Inilah generasi muda saat ini, sebuah potret pilu dari bangsa yang belum selesai mendidik pewarisnya. 

Memanglah sebuah pembacaan nasib Indonesia ini akan sangat relefan jika saya meninjau apa yang sedang terjadi dikalangan generasi muda saat ini. Bagaimana kenyataan yang sedang terjadi, perilaku apa yang sedang gandrung digemari, dan atas motif apa semua itu bisa berjalan begitu wajar dan termaklumi. Karena kata para orang tua, untuk melihat bagaimana nasib ke depan sebuah bangsa, cara yang paling masuk akal adalah meninjau keadaan generasi mudanya. 

Jujur saja, dalam menilai masa depan Indonesia, saya pribadi sampai saat ini masihlah menggunakan kemasan distopia, yaitu penggambaran nasib Indonesia ke depan dengan penggambaran begitu menyeramkan. Ada cerita menarik ketika sudut pandang saya seperti itu diketahui oleh beberapa kawan saya. Sudah banyak yang silih berganti masuk kost, duduk bareng, dan mengobrol panjang lebar, kemudian menasihati bahwa kita tidak boleh pesimis terhadap negeri ini, harus tertanam jiwa optimis, karena tanpa itu semua kita tak bisa bangkit dari keterpurukan. Tapi apa? Lepas semua ritual menggurui itu, mereka keluar kost dengan perasaan dan raut muka yang biasa, kemudian kembali masuk dalam rutinitas yang ter-plot dan memabukkan; mereka sibuk dengan game, nonton, pacaran, hangout sambil genjreng-genjreng main gitar dan tawa lebar yang bergumul diselimuti kartu remi di meja kafe. Bahkan saya masih sangat hafal basa-basi penolakan undangan untuk diajak dialog mengenai kebijakan yang bergulir setiap saat yang melintas di depan mata mereka. Saya masih ingat betul beberapa kali undangan mengenai kritik terhadap rancangan APBN, kenaikan BBM, TDL, dan LPG tidak pernah mendapat respon hingga kini. Tak ayal, sampai saat ini saya pun kebingungan terkait simpulan apa yang harus saya keluarkan dalam memandang nasib bangsa ini selain pandangan yang negatif, absurd, dan jumud.

Berangkat dari kultur saya yang sudah lebih dari dua tahun berada di lingkungan kampus, tidak juga menawarkan apapun selain kebingungan yang terus menerus muncul. Bahkan obrolan dengan dosen kadang hanya berujung pada paparan solusi teknis dari sudut pandang mereka sebagai intelektual yang memegang teguh professionalisme. Dosen teknik sipil memandang bahwa Indonesia mundur karena insfrastuktur –semisal jembatan, jalan raya, pelabuhan dan bandara—yang tidak memadai, dosen pendidikan memandang bahwa keterpurukan ini semata-mata karena kurikulum yang tak jelas, dosen ekonomi berbicara hanya pada tataran mekanisme ekonomi; surplusenya anggaran, fluktuasi, nilai beli, daya jual, inflasi, dan membangun mental enterpreuner untuk memperkaya diri. Begitu pun dengan dosen agama yang hanya memandang keterpurukan ini semata-mata terkait persoalan akhlak dan ibadah individual pada pribadi masyarakat yang dirasa kurang taqwa. Saya merasa seolah antara satu bidang dengan bidang lain berjalan sesuai batas kotak, yang antara satu kotak dengan kotak lain tidak bisa bergandengan tangan atau sekedar saling sapa. Ya, tidak ada benang merah yang bisa memberikan solusi integral yang paling masuk akal dari keterpurukan bangsa ini.

Maka wajar, ketika paparan kondisi nyata yang saya jelaskan ini berimbas pada munculnya generasi muda yang mandul karena bingung. Bingung karena mereka tak mengerti bagaimana harus memulai, apakah hanya dengan membentuk kelompok-kelompok peduli sosial dan peduli bencana alam, memperbanyak organisasi-organisasi berhaluan kegiatan ilmiah dan cinta lingkungan, membuat banyak PKM untuk didanai Dikti, ataukah ikut lomba-lomba. Sangat wajarlah, dari kebingungan ini muncullah kefrustrasian, karena ternyata medan yang harus dilalui terlampau berat dan penuh tekanan, masa depan tidak menawarkan apapun selain persaingan, berbagai seminar motifasi digelar untuk membentuk generasi muda yang tangguh dalam mengurusi diri sendiri. Sehingga yang awalnya sikap peduli memperbaiki bangsa itu tumbuh, namun belum sempat berakar kuat menghujam bumi malah terinjak terlebih dahulu oleh sikap individualistis yang memandang bahwa kita tak bisa hidup kalau tidak banyak prestasi yang ditorehkan semasa studi. Berbondonglah para mahasiswa frustrasi ini berkejaran dengan Indeks Prestasi untuk memburu segenggam rente dan nasib masa depannya.

Kemudian yang menarik terjadi adalah semua rakyat yang merasa heran dan terkaget, apa sebenarnya yang terjadi dan hinggap di benak generasi muda. Para orang tua yang awalanya berharap bahwa anaknya akan sukses di masa mendatang malah shock dengan kabar yang berdering di ponsel, bahwa anaknya telah bunting, diperkosa, mabuk-mabukan, dan overdosis narkoba. Padahal nilai akademis mereka sama sekali tidak mengecewakan.
Inilah yang saya maksudkan nasib bangsa yang masih saya kemas secara distopia. 

Indonesia! Sebuah bangsa yang menginginkan maju, tapi kaum mudanya berambisi menguasai masa depan sendirian. Kaum muda frustrasi? Barangkali?.

Mengenal lingkungan kita

Untuk lebih jauh mengenal watak generasi muda penghuni Indonesia ini, alangkah baiknya kita sedikit mengenal untuk mengetahui seperti apa sebenarnya lingkungan yang menciptakan generasi yang mengkhawatirkan ini.

Sejarah menyatakan bahwa Indonesia, negeri yang terlintas pada garis katulistiwa dengan memiliki 13.466 pulau ini, lahir dari dorongan AS lewat tentara sekutunya dan Uni Soviet untuk melakukan revolusi melawan Belanda dan Jepang. Kita hilangkan sejenak aksi heroik yang diputar media mengenai pahlawan Indonesia, semacam Soekarno, Syahrir, Hatta, dan yang lainnya. Kita sedikit beranjak meninggalkan subjek sejarah dan meletakan pembacaan ini dari kacamata situasi dunia pada saat itu yang lebih netral dan ilmiah. 

Singkat waktu ketika uluran kesempatan itu dimanfaatkan, Indonesia melancarkan revolusi yang sengit dengan dukungan Uni Soviet dan AS, meski sejatinya kedua negara besar ini saling bertentangan. Namun pada akhirnya Indonesia berhasil juga mengalahkan Belanda secara militer dan mengajukan permasalahan ini ke PBB. Indonesia lalu mendapat dukungan dari AS, dan PBB pun kemudian memutuskan kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian Belanda keluar dari Indonesia dan tidak memiliki jajahan lagi, kecuali Irian Barat. Namun Indonesia segera saja berupaya merebut Irian Barat dengan dukungan AS. Dan AS terus berada di balik Indonesia hingga Indonesia berhasil mengusir Belanda dari Irian Barat bahkan sampai saat ini. 

Adapun mengapa bisa perseturuan dua blok yang bertentangan, antara blok barat dan blok timur, itu bisa bekerja sama dalam memberikan kesempatan kepada Indonesia itu urusan lain. Yang pasti kita bisa lihat keberpihakan Soekarno lebih kepada Sosialisme ketimbang Kapitalisme. Dengan gagasan NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis) yang diulang-ulang, seakan Soekarno ingin menjelaskan pada kita bahwa bagaimanapun kita mendeklarasikan gerakan non blok, toh pada dasarnya kita tak bisa berdikari soal hegemoni Ideologi dunia. Kapitaliskah, atau Sosialiskah?

Memang tak bisa dibantah, bangsa ini dari dulu hingga sekarang adalah wilayah yang direcoki oleh banyak kubu. Dahulu saja pada abad ke 7 Indonesia menjadi wilayah perdagangan yang strategis, berbagai budaya, pemikiran, dan penjajahan mulai masuk. VOC yang datang membawa misi, diikuti portugis, belanda, dan jepang yang juga pernah merongrong. Hingga sampai saat ini pun Indonesia adalah lahan strategis untuk tetap direcoki, meski dengan bentuk yang lebih rupawan dan halus karena dipoles masker bernama makar imperialisme.

Dari setting seperti ini wajarlah bahwa bangsa Indonesia belum masuk pada tahap Negara yang berdikari, baik dari segi konsep, kepemilikan sumber daya, apalagi pemberdayaan manusiaanya. Indonesia adalah sebuah negeri yang menghimpun beberapa ide dari para pelancong yang menawarkannya. Dominasi IMF dan world bank juga masih terasa dalam anggaran belanja Negara hingga saat ini.

Lantas bagaimana soal pola hidup masyarakatnya? Soal generasi mudanya?

Dari pembacaan yang singkat tadi, maka ada pemakluman yang besar bahwa pola hidup dari masyarakat yang terecoki akan menghasilkan kebingungan. Bahkan bukan hanya masyarakat biasa, Istilah 'Intelectual confuse' juga menjangkit dikalangan kaum terpelajar. Sudah sepatutnya jangan bertanya lagi tentang kondisi masyarakat bingung. Inilah saat-saat terbaik untuk bermuhasabah membaca diri lewat rekam jejak sejarah yang tak kunjung berpihak pada kesejahteraan. 

Yang terbaik dalam mengubah nasib adalah sadar akan kesalahan, dan sibuk untuk belajar, giat dalam beramal atas landasan bahwa kita semua tak bisa hidup tanpa adanya dzat yang maha menciptakan.

Meninjau Peran generasi muda sebelum kita

Telah selesai kita membaca kondisi Indonesia, maka berlanjutlah kita membaca subjek kekinian sebelum bencana kesemrawutan ini terjadi dan memandulkan generasi muda begitu saja. Peristiwa terdekat bagi para generasi muda, khususnya para mahasiswa adalah peristiwa yang memakzulkan mahasiswa sejajar dengan para pengisi yang memberikan warna pada negeri ini. Reformasi 1998.

Siang itu Harmoko tak lagi mendominasi televisi, sementara para mahasiswa berjubel merapat, berpegangan erat, dan saling percaya bahwa perubahan ada di depan mata. Budiman Sudjatmiko sebagai salahsatu tokoh muda dengan PRD (Partai Rakyat Demokratik) nya mengancam soeharto untuk lengser. Tak kalah hebat juga, Cak Nun sebagai budayawan, intens mengkritik dan membuat percikan-percikan euphoria perlawanan untuk tumbangnya rezim diktaktor. Dan yang pasti seluruh mahasiswa penjaga nurani mulai berteriak untuk reformasi, sejak itulah Habibie bersiap jadi presiden transisi, dan Suharto lengser malu-malu. Di bawah sinar matahari panas, di antara aroma bakaran ban, di antara dentuman senapan, dan di antara banyak korban berjatuhan bercampur haru dan keseganan yang mahasiswa peroleh dari rakyat. Dan kita, generasi muda, pernah tersenyum dengan ini. 

Tapi rasanya baru kemarin, pasca 1998 mulailah terjadi banyak rombakan. Kebekuan mulai muncul, kemandulan mulai nampak, dan mahasiswa sibuk dengan wara-wiri kegiatan kampus semata. Padahal saya masih merasakan keeksotisan mahasiswa sebagai generasi yang peduli dengan nasib bangsanya, ada genangan air mata dan rasa takdzim berlebih ketika saya baca penuturan dari Adriano Rusfi, salah satu pengurus masjid Salman ITB yang bertutur kondisi saat-saat reformasi.

“Ada cemburu ketika barisan bis kota lewat di sebuah ruas jalan Jakarta. Ketika itu panas menghiasi bulan Mei di 1998. Betapa tidak, di dalam dan di atapnya berdiri gagah mahasiswa berjaket melambaikan bendera kesatuan aksinya, sedangkan saya terdiam di tepi jalan hanya sebagai penonton. Mereka pemain dan saya penonton. Mereka di tengah dan saya di pinggir. Mereka berjuang meruntuhkan sebuah rejim, dan saya hanya tergopoh untuk sesuap nasi.

Seorang pemuda mengepalkan tangannya dan berteriak ke arah saya. Tak jelas apa katanya. Tapi bagi saya terdengan seperti sebuah ejekan,

”Apa yang generasimu lakukan terhadap penguasa lalim?. Apa saja yang kau lakukan ketika kau masih mahasiswa?”

Ah, mungkin saya sekadar tak beruntung, menjadi mahasiswa yang hidup di jaman di mana NKK-BKK membelenggu tangan di punggung, jaman di mana api heroisme mungkin belum menyala. Tapi saya tetap cemburu, kenapa pekik perlawanan ini tak terjadi saat saya masih mahasiswa. Cemburu yang akhirnya membuat saya membeli pita reformasi di tepi jalan, dan mengikatnya di kepala, tepat 21 Mei 98, jam 9, di Senayan, saat sebuah rejim harus lengser.

Dan sekali lagi, mahasiswa membuat perubahan besar. Mendaftarkan diri di catatan sejarah, menawarkan kesempatan bagi terjadinya sebuah perbaikan. Perannya dalam panggung sejarah memang masih diperdebatkan, apakah pembentuk rejim baru atau sekadar pemakzul rejim lama. Desainer dari sebuah bangunan sosial yang baru, atau hanya menjadi destruktor dari status quo karatan? Peran heroiknya tak terbantahkan. Tapi, mampukah mereka menjadi pemberadab?”

Bagi kita mungkin panasnya arus kegilaan yang mestinya ditindak tidak serta merta terasa, karena kita tidak pernah mau untuk belajar membaca. Dan sejatinya bahaya yang terbesar bukan karena bahaya itu besar, Bunda Elly Risman, salah satu pakar psikologi anak, pernah berkicau dalam twit nya bahwa “bahaya yang paling besar yang dihadapi bangsa ini adalah karena kita tidak sadar ada bahaya”

Lantas sudah sampai mana kita membaca? Sedikit saja membandingkan kontribusi kita dengan generasi muda sebelum kita? Atau janganlah terlalu berat, kita letakkan saja posisi sebenarnya antara kita dengan generasi sebelum kita, berapa jarak, minimal keterlibatan hati untuk benci terhadap kelaliman?.

Dua hal yang saya khawatirkan dari mandulnya generasi muda saat ini adalah terjadinya distorsi dan ketidaktepatan, atau lebih tepatnya sejenis ketidaktepatan yang timbul akibat generalitas masalah yang dipaksakan terlampau dogmatis atau penempatan fokus yang terlalu positif. Generalitas masalah yang dipaksakan secara dogmatis ini adalah bahwa di era sekarang penjajahan itu tidaklah ada, atau ungkapan bahwa perang dunia itu omong kosong yang tak akan terjadi di era saat ini. Sedangkan penempatan fokus yang terlalu positif ini adalah perasaan tanpa curiga disetiap komponen masyarakat, terlebih generasi muda terhadap negara-negara yang mengusung ideologi tertentu. Karena tanpa disadari atau tidak, sifat sebuah negara yang memegang ideologi akan senantiasa bersifat massif untuk menyebarkannya dan tidak akan tinggal diam. Dari perasaan tanpa tendensi ini kefokusan terbentuk hanya pada sektor ekonomi semata, sedangkan pengontrolan dan pendidikan politik tidak diajarkan. Inilah kekhawatiran terbesar saya. Adapun terkait gambaran seberapa penting kepedulian generasi muda terhadap politik, saya meminjam kata-kata Bertoch Brecht, seorang sastrawan dan dramawan kelahiran jerman. Brech berujar bahwa “Buta terburuk adalah buta politik, orang yang buta politik tidak sadar bahwa biaya hidup, harga makanan, harga rumah, harga obat, semuanya tergantung keputusan politik. Dia membanggakan sikap anti politiknya, membusungkan dada dan berkoar: Aku benci Politik!! Sungguh bodoh dia, yang tak mengetahui bahwa karena dia tak mau tahu politik, akibatnya adalah pelacuran, anak terlantar perampokan dan yang terburuk korupsi dan perusahaan multinasional yang menguras kekayaan negara.”

Wahai generasi muda! bacalah setiap fenomena dengan cerdas dan seksama!, bergeraklah untuk kebangkitan Islam. Jangan sampai kematian adalah hari pertama kita menyesal bahwa makna hidup sebenarnya adalah seberapa besar kontribusi kita dalam menegakkan kebenaran.
_____________________________________________________________________________
AABELKARIMI | Gema Pembebasan Daerah Semarang | Mahasiswa | Kolomis | Twitter: @aab_elkarim

0 Response to "PEMUDA INDONESIA, POTRET GENERASI IMBISIL"

Post a Comment