Aku dan Bangsaku

Jika Soekarno pernah menyatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang meghormati sejarah, maka Parjo, Saimin, dan Sanud, tempo hari berkesimpulan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang legowo menyadari kesintingannya. Sedang bangsa yang lebih besar lagi adalah bangsa yang  menyadari kerusakan dan kesalahannya lantas melakukan muhasabah dan mulai beroperasi mengadakan perbaikan. Begitulah simpulan dari diskusi lepas tempo hari di warung kopi, dan essai ini akan mengulas, menambahi, dan menyempurnakan nilai ke-aku-an dari bangsa yang tidak selesai.

Bertolak dari definisi yang diadopsi KBBI, bahwa yang berarti bangsa adalah “kelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri”, maka adanya subjek yaitu para manusia yang berkumpul dan membentuk sebuah pemerintahan adalah hal yang wajib adanya. Tapi dari definisi yang paling general --dan saya rasa sangat sempit ini-- kita tidak bisa membaca definisi bangsa secara sempurna. Apalagi berani memberi solusi dari permasalahan yang muncul pada bangsa itu. Karena ada satu hal yang terputus dan tervonis gagal dalam definisi, sehingga jangankan memberi solusi, membaca jati diri definisi saja keliru. Dan kesalahan, dan kesalahan, dan kesalahan, yang terus dilakukan tanpa sadar telah banyak menimbulkan kerusakan, inilah yang paling berbahaya, yaitu kondisi yang tercipta ketika masyarakat merasa bahwa keberadaan pemerintahnya sebenarnya lebih banyak mengganggu daripada membantu, lebih banyak merugikan daripada menguntungkan, atau lebih banyak mengisruhkan daripada menenangkan.

Indikasi bangsa gagal yang terlahir dari definisi ‘bangsa’ yang bathil yang hanya sebatas ikatan-ikatan kesamaan fisik adalah suatu hal yang ambigu, seseorang yang berketurunan sama, beradat sama, namun memiliki gagasan memberontak dan membuat kekacauan akan tetap dianggap bagian dari bangsa karena sama dalam warna kulitnya, sejarahnya, dan embel-embel fisik yang sarat kemunafikan. Maka definisi yang paling shohih dari bangsa adalah kelompok masyarakat yang bersamaan pola pikir, sadar betul hakikat hidup, dan dengan natural membentuk ikatan yang kuat antar pengemban konsep pola pikir.  Sedangkan budaya, dan pemerintahan akan tercipta ketika setiap individu memiliki pola pikir yang sama. Adapun terkait kesamaan warna kulit, kesukuan, dan keturunan ini adalah definisi rasis yang dikemas modern dan harus segera dimusnahkan.

Terkait posisi subjek dari sebuah bangsa yang merupakan motor penggerak peradaban, dalam pandangan saya yang saat ini berposisi mahasiswa, saya merasa terfitnah dan risih dengan tudingan bahwa mahasiswa adalah agent of change, agent of social control, iron stock, atau pun moral  force. Dirasa masih sama dengan generasi-generasi yang lalu, membuat mahasiswa saat ini ke-PD-an bergerak padahal sejatinya melacur, baik itu lacuran berupa tindakan, lacuran akademis, lacuran moral, maupun lacuran social.

Agent of change dan social control
Tidak perlu muluk-muluk berbicara teori dari kata ini, sejatinya secara kasat mata definisi ini adalah ketika generasi muda menjadi pionir utama dalam sebuah arus besar perbaikan bangsa. Tapi lagi-lagi sampai saat ini tudingan agent of change dan social control terhadap mahasiswa hanyalah sebatas kidung-kidung lawas yang diputar berulang-ulang, didoktrinkan pada masa ospek, dan selanjutnya bisa ditebak, lagi-lagi mahasiswa bingung dan ujungnya lacur.

Memang terlalu brengsek saya bertutur dengan kata-kata keji semacam ini, tapi apa daya, ketika kekesalan sudah di ubun-ubun karena membaca setiap hari peristiwa getir yang melanda bangsa ini, tapi mahasiswa tetap miskin konsep, konsisten malas membaca, enggan menganalisis, terlebih bicara strategi, dirasa menjadi aktivis hanyalah masuk organisasi kemahasiswaan dan melakukan bakti sosial dan acara-acara besar, lantas apa beda antara organisasi mahasiswa sebagai pergerakan intelektual dengan LSM atau Event Organizer?
Maka benarlah apa yang dikata sithok dalam sajaknya

“Sungguh kasihan sebuah bangsa yang diam, bergerak ke kuburan, tidak menawarkan apapun selain keruntuhan dan tidak berontak ketika lehernya diletakkan antara pedang dan balok tatakan”

Bisakah semua ini dituntaskan hanya dengan mengadakan acara-acara hiburan di kampus ataupun mengasah nilai kemanusiaan lewat agenda bakti sosial dengan menapikan siapa sebenarnya yang memiskinkan, konsep politik yang seperti apa yang ideal, dan pengontrolan ketat yang akan menghasilkan perubahan?

Iron stock dalam bingkai moral force
Apabila dikatakan bahwa seseorang yang besar adalah ia yang mampu mengakui dan menerima kesalahannya, maka bukankah sebuah bangsa yang besar seharusnya adalah juga sebuah bangsa yang mampu mengakui dan menerima kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukannya di masa lalu?

Kesalahan terbesar yang dilakukan bangsa ini adalah terlalu banyak kompromi, mengadopsi pemikiran-pemikiran yang terlahir dari barat yang lahir dari situasi dan kondisi yang berbeda, kemudian melakukan coba-coba untuk diterapkan, ketika satu teori dirasa gagal maka mencoba lagi teori lain yang sudah dipastikan gagal pula, karena saat ini semua teori yang diadopsi adalah teori yang lahir dari ideologi kapitalisme  yang saat ini collaps dan hampir runtuh. Juga kesalahan terbesar lain adalah tidak mempunyai keberanian dalam membela hak-haknya.

Maka menjadi iron stock bagi bangsa Indonesia adalah suatu proses panjang dan berat. Berawal dari pembacaan kondisi Indonesia yang kacau dan kalut, terhasud kebijakan hukum internasional yang terkadang tidak menguntungkan, banyaknya mafia pajak dan SDA, dan sekelumit cerita lain yang mengharu biru, maka semua ini harus berakhir pada perenungan, analisa, pertimbangan, kematangan konsep, dan tidak terjebak dengan istilah ‘kerja nyata’ dan ‘gagal fokus’.

Namun yang paling parah dari semua ini adalah generasi muda, terlebih mahasiswa. Kebanyakan dari mereka dalam memandang permasalahan dihantui oleh ketakutan. Semua pandangan masa depan dikemas secara distopia, menggambarkan masa depan secara menyeramkan, tidak ada kemungkinan bangkit lagi, sehingga hanya membebek dan mengikuti alur saja. Ya, pertanyaannya bagaimana bisa optimis, sedang sikap mereka masih lacur secara konsepsi dan tingkah laku? Maka wujud Iron stock yang paling dasar adalah menata ulang kembali konsep hidup, tidak dengan konsep sosialisme, tidak juga dengan kapitalisme. Setuju tidak setuju, hanya ada satu pilihan yang lahir, saya rekomendasikan Islam, dengan catatan tidak dari sudut pandang kesinisan dan sentimental.

Duduklah dalam kondisi semula
Maka sebagai manusia merdeka yang masih terikat oleh batas-batas bangsa, juga sebagai generasi muda yang potensial untuk membangkitkan dari keterpurukan, maka akuilah bahwa konsep dan ideologi  yang memuaskan akal dan menentramkan hati seharusnya digali kembali. Sehingga ke-aku-an akan menghasilkan percaya diri untuk berdikari dan berjuang bagi diri dan bangsa. Tidak dengan kapitalisme, tidak dengan sosialisme. Bagi saya Islam adalah fajar baru untuk aku dan bangsaku. Galilah dan adillah dalam menimbang.
Salam perjuangan!.

Sukabumi, 2 Agustus 2014
______________________________________________________________________________________________
Abdul Qodir | Ketua Gema pembebasan komsat Unnes | @aab_elkarimi

1 Response to "Aku dan Bangsaku"