MENINJAU KONFLIK DARI SUDUT PANDANG (YANG PALING) REALISTIS

Beberapa hari yang lalu saya menulis artikel berjudul "konflik dan perjuangan" bisa dilihat di http://aabelkarimi.blogspot.com/2014/07/konflik-dunia.html . Kebetulan sekali sekarang saya dapati sebuah buku yang mengulas sisi konflik dari hasil elaborasi pemikiran Ibnu Kholdun yang sebenarnya lebih tepat dikatakan perspektif Islam. Sebelumnya dalam buku itu dijabarkan beberepa ulasan teori mengenai konflik. 


Konflik adalah keniscayaan bagi setiap manusia.
sumber: http:/leadingwithtrust.com

Teori konflik fungsional, yang menjelaskan bahwa konflik adalah suatu yang niscaya ada, yang disebabkan adanya sifat agresi dari dalam diri setiap manusia, kerap pernah menjadi teori rujukan sejak 1955 melalui pemikir barat, Georg Simmel. Simmel dalam bukunya yang berjudul "Conflict & the Web of Group-Affilations" berusaha mengembangkan teori-teori yang dilandaskan pada bentuk-bentuk dasar proses sosial yang dikenal dengan pendekatan sosiologi formal. Juga tak kalah ramai, teori konflik kelas yang diusung oleh Karl Marx pernah juga jaya yang pada akhirnya runtuh dan tidak lagi relevan dengan situasi abad 20. Dalam teori kelas, konflik ini semata-mata karena adanya kelas/strata kasta, maka tak ayal muncul konklusi bahwa perjuangan untuk menghilangkan kelas borjulis-proletar adalah revolusi abadi umat manusia untuk menghilangkan konflik. 

Lantas bagaimana Islam memandang? 
Islam memandang bahwa konflik itu berasal dari sifat ashobiah yang tinggi. Bukan karena slogan 'si vis pacem pera bellum' yang berarti jika menghendaki perdamaian, bersiaplah untuk perang, Islam tidak mengenal hal itu. Islam memandang bahwa konflik ini adalah implikasi dari ghorizatul baqa, yaitu naluri yang terdapat dalam diri manusia untuk mempertahankan hidup, dan sekali lagi pelaku utama konflik itu adalah sifat ashobiah, atau dalam bahasa kita dikenal dengan sebutan berbangga terhadap kelompok, salah satu contohnya skat nasionalisme dan kesukuan. Ketika letak permasalahan dipandang dari segi ashobiah maka teori marx bisa dengan mudah dipatahkan, pasalnya adanya kelas antara kaum borjulis-proletar ini disebabkan oleh adanya ashobiyah. Maka dari itu saya sampai pada simpulan bahwa ini adalah bagian kecil dari hikmah mengapa nabi melaknat ashobiyah.

"Bukan termasuk umatku siapa saja yang menyeru orang pada ‘ashabiyah'" (HR Abu Dawud).

Namun perlu diketahui sikap ashobiyah ini tidak melulu muncul karena sikap hati dan moralitas. Terkadang konflik muncul yang disebabkan oleh ashobiyah ini adalah karena memang kondisi objektif kedua belah pihak yang berbeda. Misalnya dalam era kehidupan kapitalisme saat ini, berbagai protes yang terjadi dari kaum buruh bukan karena kaum buruh iri hati terhadap kaum borjulis, atau sebaliknya, eksploitasi kaum borjulis terhadap kaum buruh bukan karena kaum borjulis serakah, karena fakta sebenarnya adalah bahwa setiap kelas sosial bertindak sesuai dengan kepentingannya yang ditentukan oleh situasi yang objektif. Kelas borjulis misalnya, berkepentingan untuk mengusahakan laba sebanyak mungkin bukan karena mereka rakus secara pribadi, melainkan hanya dengan mencapai keuntungan yang besar mereka dapat mempertahankan diri dalam persaingan di pasar, ya lagi-lagi ini terkait ghorizatul baqo. 

Lantas muncul pertanyaan, bagaiamana mekanisme Islam dalam meredakannya?

Sampai sini kita mengerti bahwa konflik ini terjadi atas dasar 'ashobiyah', maka langkah menghilangkannya cukup mudah, tinggalkan saja 'ashobiyah'. Adapun uraiannya adalah setelah kita mengetahui dengan 'ainul yaqin' bahwa ashobiyah ini adalah sumber konflik, pendekatan yang paling realistis di era saat ini adalah mendudukan secara benar mana yang terkategori ashobiyah dan mana yang tidak terkategori. Ketika melihat skema ashobiah level dunia dari segi historisnya, sejatinya terdeteksi muncul pada awal abad 20, sewaktu Kekhilafahan utsmani runtuh, negara yang sedemikian besar itu dibagi-bagilah dibawah pengawasan inggris dan prancis. Dari sini sebenarnya kita dapat simpulkan bahwa konsep nastional state adalah cara termudah bagi negara imperialis untuk menjarah, di samping mereka lebih bisa terfokus, konflik juga bisa muncul dalam tubuh tiap negara yang terpecah itu. Ketika sentimen nasionalisme sudah mengakar, maka cukup mudah untuk membuat konflik, cukup angkat satu tema, baik itu isu pencurian tarian, sepak bola, atau pun yang lainnya, lalu 'pantengin' di media pemberitaan, maka dua negara yang dirundung konflik akan siap angkat senjata.

Semua ini harus kita tata dari awal, konsep hidup yang saat ini semakin hari semakin parah bisa menimbulkan konflik hebat, bahkan dari hal sepele sekali pun. Maka cara yang paling rasional adalah memahamkan umat akan pentingnya kebersatuan yang tidak berlandaskan ashobiah, tentunya bagi kita seluruh kaum muslim adalah berlandaskan akidah semata, yang dalam aplikasinya mampu menembus bahkan meloncati jauh batas-batas semu 'ashobiah'. Lewat akidah pula kita dituntut untuk bersatu, menjadi umat yang satu, tanpa membedakan warna kulit, bangsa, ras, atau pun sentimen nasionalisme. Tentu lewat semua ini Khilafah, sebagai pemersatu umat adalah disamping kewajiban juga menjadi keperluan bagi kita dalam menyelesaikan konflik. []Abdul Qodir



0 Response to "MENINJAU KONFLIK DARI SUDUT PANDANG (YANG PALING) REALISTIS"

Post a Comment