Metamorfosis, tentang perjalanan yang harus diselamatkan

"Memahami masalah adalah setengah dari solusi"
--Singgih Saptadi--

Kalimat ini aplikasinya bisa beragam. Kali ini dalam perenungan, saya maknai terhadap diri sendiri saja, supaya sadar bahwa endapan-endapan dosa yang tak terasa itu telah mulai menggelisahkan dan harus segera dicarikan solusi. Semua ini dimulai dari pertanyaan mengapa akhir-akhir ini aktifitas serasa hambar, belum juga mengecup manisnya iman. Kemudian berlanjut pada mengapa kekosongan, kemunafikan antara lisan dan laku lampah, dan pemaknaan hidup ini, mulai muncul sewaktu saya terus menerus menapaki jejak diri. Saya hanya bisa terus bertanya akankah keraguan dan sikap pesimis tiba-tiba hinggap dan menelantahkan semua pencapaian yang selama ini telah saya bangun. Akankah semua sia-sia di ujung ketika diri saya tiba-tiba masuk pada pusaran kebimbangan yang temponya sekejap namun memporak-porandakan semua bangunan, mimpi,dan keinginan-keinginan. Jika saya ceritakan pada orang dewasa mereka pasti menjawab, ah semua itu biasa, jalani dulu aja!.

Namun tidak! Saya terlalu takut, bukan pada masalah yang biasanya, namun ketakutan ini berawal ketika saya memahami masalah apa yang terjadi pada diri.

Sampai saat ini saya berusaha terus mencari, di balik hari-hari yang saya lalui selama ini, di setiap pijakan kaki sore hari selepas pulang dari kantor, menaiki dua kali angkot tiga ribuan, melewati bangunan sam poo kong yang dulu mulia dan saat ini jadi tempat wisata, berjalan terus menyusuri perkampungan, melewati tongkrongan pemuda, melewati masjid LDII. Dan dalam setiap tarikan nafas yang lelah saya berusaha mendalaminya. Saya temukan satu kata. Sibuk. Kegiatan saya sebagai mahasiswa, pekerja, dan juga sebagai ketua di dua organisasi sekaligus membuat saya kadang berpikir, mengapa sibuk ini seolah tiada hentinya, namun kosong dan kering. Yang awal muncul dalam pikiran adalah ketakutan bahwa kesibukan ini bukanlah rahmat, namun adzab Allah atas maksiatku yang kontinyu.

Saya memahami hanya sampai batas ini, batas yang tidak terlalu dalam, tidak juga miskin pertanggung jawaban, karena kesadaran diri akan maksiat yang dilakukan,yang hanya diketahui oleh saya dan Allah saja. 

Tiba-tiba saya teringat, barangkali sentilan dari Yusuf mansyur yang terus bergeming..."Sibuk tiada henti, kurang tiada cukup". ini berasal dari syahwat pemuda yang menginjak fase dewasa awal, yang kontrolnya tidak pakem, dan sering terjadi kebocoran. Ya, barangkali ketidak sengajaan dalam memandang ratusan lawan jenis yang awalnya kepala ditundukan, lama-lama dada ditegakkan seolah ingin menunjukan bahwa saya, diri ini yang parasnya tak jelek-jelek amat, ingin sekali tebar pesona dan dilihat banyak mata. Sehingga banyak juga aktifitas-aktifitas baik di dunia maya maupun nyata yang seolah karena adaya umpan manusia yang berbeda jenis, kemudian esensinya menjadi kikuk. Awalnya mungkin hanya setikik, kemudian menjadi segumpal, dan berkembang, dan berkembang, dan berkembang terusberkembang yang berujung dengan ledakan yang jika tak diantisipasi malah akan menyengsarakan. Saya sadar dan tidak malu mengatakan bahwa biografi pejuang yang bringas dan berani, tidak luput dari pasangan hidup yang anggun, cerdik, dan penuh kasih sayang.

Perasaan yang muncul dua minggu yang lalu, makin hari terasa makin membesar. Mungkin bisa jadi metamorfosis fase ini akan saya ambil yang paling besar resikonya untuk menyelamatkan seluruhnya.

Haruskah saya memutuskan untuk melangkah kepelaminan?
Umpamanya jika ada hantaman;
Calon yang masih absurd, terlalu dini, belum mapan, masih miskin, krisis moril, mental yang belum mantap?
Saya baru bisa menjawab "saya sedang mengusahakan!"

Butuh satu, dua, tiga, empat tahun untuk mapan? Atau kemapanan itu suatu yang lain dari waktu...

2 Responses to "Metamorfosis, tentang perjalanan yang harus diselamatkan"

  1. Setuju. Kemapanan itu sesuatu yang lain dari waktu. Tetapi keberanian untuk memilih dan menjalani proses itu adalah yang penting *menurut saya* karena dari sanalah akan banyak mozaik-mozaik bernama pelajaran yang membuat seseorang menjadi bijaksana dalam memandang kehidupan.

    Tulisan yang menggelitik, terutama di bagian :
    "Saya sadar dan tidak malu mengatakan bahwa biografi pejuang yang bringas dan berani, tidak luput dari pasangan hidup yang anggun, cerdik, dan penuh kasih sayang".

    Selamat berproses ^^

    ReplyDelete
  2. Terimakasih, ini mbak ditri ya? maaf baru ke respon.. jarang buka-buka komentar
    iya, semoga saja mozaik-mozaik itu tumbuh subur dan tidak layu...

    ReplyDelete