Konflik dan Perjuangan

"Konflik internasional sejak awal sejarah hinga Hari Kiamat nanti tidak keluar dari dari dua motif berikut:  Pertama, cinta kepemimpinan dan kebanggaan.  Kedua, dorongan di balik manfaat-manfaat material. Cinta kepemimpinan (hubb al-siyadah) bisa berupa cinta kepemimpinan terhadap umat dan bangsa seperti halnya Nazisme Jerman dan Fasisme Italia. . .". (Konsepsi Politik Hizbut Tahrir)
Manusia diciptakan beserta naluri, salah satu naluri yang dimilikinya yaitu naluri untuk mempertahankan diri (gharizatul baqa). Ini pula yang melahirkan dinamika antara satu manusia dengan manusia lain saling mengungguli. Sesuatu hal yang wajar, karena ketika naluri mempertahankan diri meningkat, ia akan spontan mencari cara untuk tetap bekerja secara aktif mempertahankan keberlangsungan hidup.
Mengutip apa yang dikatakan Syaikh Taqiyuddin An-nabhani di awal tulisan ini, Saya sampai pada kesimpulan bahwa konflik manusia yang tak pernah usai ini dipacu oleh naluri mempertahankan diri (ghorizatul Baqa). Ketika kita berbicara tentang dorongan dibalik manfaat-manfaat material, maka kita akan langsung ingat bahwa AS dengan manuver-manuvernya sebenarnya bergerak berlandaskan dorongan ini. Adapun mekanismenya dilangsungkan dengan berbagai cara, baik itu invasi militer untuk menduduki pangkalan minyak sebuah negeri, membuat konflik dengan strategi politik pecah belah, atau pun membuat kebijakan skenario dagelan untuk menjerumuskan sebuah bangsa kejurang jeratan hutang. Yang terpenting ketika semuanya berjalan sesuai dengan apa yang telah mereka rencanakan, maka raupan materi yang dihasilkan tidak akan pernah peduli sedikit pun dengan konflik yang dihasilkan.
Adapun beberapa pemikiran yang lahir dari cinta kepemimpinan dan kebanggaan ini diataranya telah dicontohkan oleh Adolf Hitler melalui Nazi yang ingin membrangus bangsa selain bangsa nya. Dalam buku "Mein kampt" karya Adolf Hitler ia menuturkan dengan jujur bahwa Jermanisme hanya dapat diselamatkan dengan penghancuran bangsa Austria, dan lebih lanjut, bahwa sentimen nasional tidak sama dengan patriotisme domestik; bahwa bagaimana pun juga House of Habsburg ditakdirkan untuk menjadi kemenangan bangsa Jerman. 
Lantas ketika kita membaca kondisi dunia kekinian, lewat pembacaan fakta yang terindra, konflik yang muncul sejatinya tidaklah bisa lari dari dua poin utama di atas, cinta kepemimpinan dan kebanggaan, dorongan dibalik manfaat-manfaat material. Soal penyerangan Israel terhadap Palestina, kita pun bisa menyimpulkan sewaktu Obama, presiden AS saat ini, menghubungi Benjamin Netanyahu, Perdana Menteri Israel, untuk memberikan dukungan dan penegasan bahwa Israel berhak untuk mempertahankan diri adalah bukti bahwa peperangan tetap akan dilaksanakan untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya (Ghorizatul Baqa). Karena naluri ini tidak bisa dihilangkan, maka Islam hadir dengan Syariat yang memberikan batasan.
Jika sudah begini, bukankah wajar dan masuk akal pengunggulan satu manusia terhadap manusia lain? atau pun pengunggulan suatu bangsa atas bangsa lain terjadi?
Ah, atau....
Mungkin saja. Mungkin saja dulu kita marah, kawan-kawan kita marah, pada dunia ini, bukan benar karena dunia ini terasa tidak adil, melainkan karena sesungguhnya di lubuk hati yang terdalam, kita sadar bahwa kita tidak mampu, dan kita sadar bahwa kitalah yang pertama-tama akan tersingkir dari arena pertempuran dunia. Kita sebenarnya frustrasi, menikmatinya sangat dalam, yang menenggelamkan kita dalam kepasrahan dan menerima nasib yang sebenarnya bukanlah takdir. Kita tidak siap, lemah keyakinan, susah dalam mengorganisir dan malas mendakwahkan diin ini. Kemudian kita marah karena kita takut. Masalahnya, hidup ini tidak bisa dijalani oleh para penakut, bukan? karena hidup untuk para pejuang, begitu pun syurga dan ridho Allah dilimpahkan untuk pejuang.
Sudah sampai apa kita berjuang?

0 Response to "Konflik dan Perjuangan"

Post a Comment