Meretas telur penghargaan

Saya tidak tahu apa itu The Liebster Award, baik bentuknya, suaranya, warnanya, perwujudannya, asal-usul, landasan berdiri, atau  siapa saja pelakunya. Satu yang saya tahu, The Liebster Award itu adalah tempo hari saya di tag oleh orang yang sebelumnya tidak saya kenal di media sosial, kemudian saya komentar bertanya tentang kejelasan, disuruh membuka link blog, tercantum nama Abdul Qodir, disuruh merespon, dan saya katakan Siap. Tidak terlalu membingungkan, barangkali ini adalah istilah lain untuk penghargaan, sementara baru itu yang saya pahami. 


Karena fenomena 'penghargaan' ini sedang marak-maraknya di alam manusia, ya saya hanya bisa ikut menikmati saja, larut dan berusaha untuk tetap kohesi berjarak antar ufuk. Soal penghargaan, saya kira semua manusia sama, akan senang ketika dihargai, dan semua sepakat bahwa menghargai adalah perbuatan terpuji. Yang selanjutnya jadi tak sangkil adalah ketika penghargaan yang dielu-elukan untuk sebuah prestise diri. Kata pak ustadz mah ini disebut riya, kondisi psikis manusia ketika motivasi gerak adalah selain Allah. Riya ini juga termasuk ketika mengurungkan sebuah aktifitas mulia hanya karena tidak ingin terlihat orang.

Sebenarnya malu dan terlalu berani ketika saya bertutur bahwa jutaan event yang nampak saat ini, baik lewat televisi, radio, sosial media, dan media-media lainnya, membuktikan bahwa pada saat ini manusia kurang merasa dihargai. Pernyataan prematur ini lahir dari kejujuran batin yang merasa terasing di atas gamang. Kita lihat saja beberapa penghargaan yang terlahir dari ambisi untuk menjadi yang paling dan yang ter ter... sehingga muncullah ratu sejagat, raja komedi, dan duta seksi. Bahkan di peradaban kapitalisme yang cemong muncul beberapa penghargaan yang maknanya adalah kemaksiatan besar, semisal penyandang -maaf- b*kong terseksi, payu d*r* terindah dan penghargaan lain yang makna sejatinya eksploitasi barang yang seharusnya mulia jika disembunyikan. Jika dijabarkan kenyataan pahit ini berawal dari perasaan manusia yang koyak karena lingkungan yang menuhankan perhatian selain Allah.

Tapi yang jadi tanda tebal adalah soal peran dan tahu diri, Tugas kita hanyalah sebatas menghargai orang, pun dengan tugas orang adalah menghargai juga yang lain, dan semua manusia tak boleh merasa harus pantas dihargai. Kerumitan ini bermuara pada aktivitas ikhlas. kata kerja yang sederhana namun sulit.

Dan penghargaan, dan penghargaan, dan penghargaan lain yang muncul dalam peradaban kapitalisme saat ini, hampir semuanya menciptakan manusia yang gila harga, tak waras bertindak karena mengejar pengakuan yang nilai ke-aku-an dirasa terasing. Namun ada juga penghargaan yang masih waras, menawan, dan santun. Dari panjangnya teori yang saya lumat di atas, saya mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada mbak Ditri lewat blognya http://kuroboshigawa.wordpress.com/ yang telah menganugerahkan saya penghargaan yang maknanya luar biasa. Semoga ini bukan menjadi langkah awal untuk saya terpaku dan larut mencari pengakuan.

Insyaalloh dalam tulisan ini saya jawab beberapa pertanyaan yang dilontarkan:

1. Kenapa kalian tertarik untuk menulis? Saya hanya menulis saja, tertarik atau tidak jujur saya malas untuk menulis, namun ketika kedzaliman sintingnya sudah keterlaluan, kadang saya tak tahan dan gatal menghajar. 

2. Siapa inspirator terbesar dalam hidup kalian? Sudah mafhum bagi muslimin, inspirator ulung hanyalah bermuara pada satu nama, yang setiap harinya dilafalkan ratusan umat manusia, Rasulullah Muhammad SAW. tokoh agung yang geraknya adalah mulia dan menjadi panutan, setiap desahan nafasnya adalah perjuangan, mengajarkan bagaimana hidup berani dalam kemuliaan.

3. Bagaimana kalian melihat keadaan dunia hari ini? Apakah ada yang perlu diubah? Dunia yang semrawut yang polanya awut-awutan ini cukup untuk kita nikmati saja, tidak perlu diubah-ubah atau pun digonta-ganti, cukup amati saja dikejauhan, sementara kita sibuk mengurusi diri sendiri, larutkan diri dalam kepecundangan, lantas kita resapi ulang kalimat yang dikatakan Sanud pada Badrun, "Dunyo ki edian tho le? Mangkane kuwi ra sah muluk-muluk kpengen ini itu, turu bae dina amparan sajadah, omat kade kudu hade ka batur, gegel ku huntu nu pageuh tur kekeuh syareat pangeran anu kawasa kana sagala, hayu babarengan negakkeun syareat Allah liwat sistem Khilafah"

4. Apa yang akan kalian lakukan untuk mengubahnya? Berjamaah dan berstrategi.

5. Apa arti Islam bagi kalian? Pembebas dari penghambaan manusia kepada Allah saja. Sebuah nilai agung yang tercipta untuk semua manusia.

6. Buku apa yang menginspirasi kalian untuk berubah? Bagi saya tidak ada buku resmi yang mengispirasi, saya banyak terinspirasi dari cerita kawan-kawan dalam perjuangannya. Sebuah catatan perjalanan yang saya baca sendiri lewat interaksi.

7. Apa hal menarik selain menulis untuk kalian? Tidur sambil bermimpi esok bisa naik haji.

8. Bagaimana cara kalian mengatasi kesulitan dan bangun dari keterpurukan? Cerita pada kawan yang satu pemikiran. Bercengkrama melewati malam dengan takaran cangkir yang berisi kopi hitam, kemudian kita larut dalam obrolan ideologis yang bermuara pada nilai-nilai ketaqwaan.

9. Apa cita-cita terbesar kalian dalam hidup ini? Saya belum menemukan hal yang pasti ketika cita-cita ditinjau dari sudut pandang duniawi, kata 'cukup' yang tak juga kesampaian mungkin salah satu penyebab terbesarnya.

10. Apa hal terpenting dalam hidup ini bagi kalian? Kembalinya Islam sebagai aturan penuh yang bisa menjegal kemaksiatan, menimbunnya dalam-dalam, mencekik sampai sekarat, dan nyawanya lenyap melewati ubun-ubun yang pecah.

11. Adakah tempat yang paling ingin kalian kunjungi di dunia ini? Kenapa? Dalam setiap doa, lirih saya berkata Allahumma hawwin a'layna fi sakaratil maut... Belum terlihat namun diidamkan milyaran Ummat, selamat dari seramnya sakaratul maut dan sukses menetap di Surganya Allah. Ya meskipun sering muncul tanggapan "yang realistis-realistis aja lah bang!".

***

Penghargaan yang ingin saya berikan, jika saja bisa blog bekerjasama dengan alam nyata dan nilai konversinya tak berbeda jauh, maka saya haturkan kepada para guru yang membimbing saya untuk tetap tsiqqah di jalan ini, Bapak, Ibu, Mas udin, dan jutaan manusia seiman. tak cukup bagi saya hanya pada The Liebster Award, butuh rasa sowan, takzim, dan angkat topi yang dijunjung melebihi bendera merah putih pada upacara senin pagi. 
Dan jika ada yang bertutur lagi "yang realistis-realistis aja lah bang" saya tak berharap yang berkata adalah manusia. Pasalnya saya tidak banyak memiliki teman blog, meskipun ada tidak pernah saling sapa, hanya sebagai pembaca rahasia, itu pun aktifitas sakral yang jarang sekali dilakukan. 

Saya menulis di blog, itu berarti adalah arsip, kemudian lekas ditutup dan langsung buka pesbuk..
:v




Semarang, 6 Juli 2014 

0 Response to "Meretas telur penghargaan"

Post a Comment