Gelagat perhelatan di dunia
olahraga, khususnya sepak bola, saat ini sedang gandrung digemari. Gaungnya
begitu terasa sampai bisa menyusup ke tiap sela-sela rumah, tidak peduli rumah
di kota atau desa, asalkan ada televisi, semuanya bisa hanyut terbawa euforia.
Saat ini sepak bola
menjelma bagai sesosok monster dengan jutaan kemungkinan yang akan diperbuatnya;
kesenangan, sorak-sorai, tertawa lepas, kepuasan, sampai pada titik nadir
dimana sepak bola menawarkan perjudian, perkelahian, bahkan pertempuran mafia
besar. Lewat perhelatan bernama World Cup, wujud sepak bola semakin menakutkan,
membuat kalap semua orang. Sampai saat tulisan ini dibuat saya menyaksikan
gelagat masyarakat yang semula banyak curhat dirundung kesusahan hidup, lewat
kenaikan LPG, TDL, BBM, sembako, hingga bencana alam, dan ancama ekonomi global
yang siap meledak di depan matanya, mendadak sirna dihapuskan kegirangan yang
mendalam pada negara lain yang menjadi idola dalam perhelatan yang bernama
world cup, ini mengingatkan saya akan gelagat adik yang luar biasa ceria ketika
dihadiahi permen lollipop dan sebuah mobil-mobilan murah. Dari sinilah saya
teringat kata-kata terkenal yang dilontarkan Aristoteles, “berikanlah rakyat roti dan sirkus, maka rakyat akan senang”
artinya cukup mudah untuk menghentikan ocehan rakyat. Kemudian saya kembali
merenung sendiri, meratapi dengan penuh pertanyaan dari gelora euforia sepak
bola bagi rakyat Indonesia. Ada apa dan untuk apa?
Kapitalisme,
Sepak Bola, dan Masyarakat
Jika disederhanakan, Word
Cup yang saat ini menjadi sebuah event olahraga terbesar sejagat, sebenarnya
tidak bagus-bagus amat. Hanya untaian tayangan pertandingan dua puluh dua orang
yang bertarung berkeringat, kemudian ada hadiah besar dengan pertaruhan gengsi
dan wibawa untuk diperbincangkan semua orang di dunia. Sementara efek yang
ditimbulkan luar biasa hebat. Sebagai contoh jika ditinjau dari angka kriminalitas
yang timbul dari Negara penyelenggara Word Cup, ahli keamanan Brasil, Paulo
Storani, yang berkarier di kepolisian di Rio De Janiero selama 30 tahun
mengatakan, aksi kriminal telah meningkat hingga 50 persen di 12 kota yang
menjadi tuan rumah Piala Dunia.
Dengan tanpa tendensi,
saya dengan hati-hati akan mengatakan, kaum kapitalis bersorak akan pundi-pundi
yang bergelontoran lewat penjualan tiket, sponsor-sponsor, iklan, dan sebenarnya
mereka sama sekali tidak peduli dengan kecantikan guliran bola dari kaki-ke
kaki. Sedang pada saat yang sama kita sebagai penonton secara klasik masih saja
hanya tertarik dengan gaya permainan, terhanyut mitos-mitos dan propaganda
media, kemudian terus menerus menyaksikan, mengamati, membicarakannya dalam
kumpulan-kumpulan, munculah kesenangan, ada tebak-tebakan siapa yang menang,
tertarik jika ada hadiah bagi yang benar dalam tebakan, semakin seru membesar,
membesar lagi, dan akhirnya bermuara pada kebisingan tengah malam, mengganggu balita
dan ibu hamil. Saya hanya bisa ternganga dengan
kalimat apik yang dilontarkan Nuran Wibisono dalam newsroom.geotimes.co.id tentang word cup 2014. Barangkali kita
mesti kembali membuka mata, menata hati, dan bicara lebih jujur tanpa dibarengi
nafsu yang terus menerus dipaksakan.
"Apa yang
terjadi di Brasil hari ini adalah bentuk paling telanjang dari boyaknya wajah
sepak bola yang dikapitalisasi sedemikian rupa oleh para pemburu rente.
Lihatlah bagaimana media — yang nyaris tanpa jeda — mendesakkan sepak bola
ke dalam labirin kebutuhan primer masyarakat. Kita menjadi alpa, menjadi buta,
menjadi berkata “ya” bahwa mendukung Manchester United dan menghina Liverpool
seolah jauh lebih penting ketimbang tarif pendidikan yang kian melangit.
Sejatinya, sejak dulu, posisi sepak bola di Brasil sudah
bertengger di puncak tertinggi sosial masyarakat bersama kebutuhan pokok
lainnya. Jauh sebelum para cartolas itu datang dengan logika korporasi
industri, orang-orang di Brasil sudah menjalani fase menikmati sekaligus
menghayati sepak bola selayaknya sanggama."
Maka tak ayal munculnya
suara jujur lewat surat Mikkel Johnson yang tertuang dalam surat kabar daerah,
Tribuna de CearĂ¡ (15/4), dialihbahasakan tim Pandit Football Indonesia:
“Saya membuat rencana untuk pergi
dan belajar bahasa Portugis di sana. Mimpi itu menjadi nyata. Saya berangkat
pada September 2013. Tapi hari ini, 2 bulan sebelum pesta Piala Dunia digelar,
saya memutuskan tidak ingin ikut ambil bagian dalam Piala Dunia. Mimpi indah saya
kini telah berubah menjadi mimpi buruk .
Selama 5 bulan tinggal di Brasil
saya mendokumentasikan banyak hal konsekuensi buruk dari kehadiran Piala Dunia:
penggusuran secara paksa, kehadiran angkatan bersenjata dan polisi militer di
tengah masyarakat, korupsi, proyek-proyek sosial yang tertutup, dan masih
banyak lagi.
Semua proyek dan perubahan yang
mereka lakukan hanya untuk orang-orang seperti saya — orang asing — dan pers
internasional . Yang mereka lakukan hanya untuk mencitra pada dunia luar.
Pada Maret lalu saya berada di
Fortaleza untuk mencari tahu kekerasan apa yang saat sering terjadi di
kota-kota yang menjadi tuan rumah Piala Dunia. Saya berbicara dengan beberapa
orang dan mereka menyarankan saya berinteraksi dengan beberapa anak jalanan,
dan saya mendapati beberapa dari anak-anak itu telah menghilang . . .”
Hal ini juga deperkuat
dengan banyaknya demonstrasi masyarakat brazil yang sampai minggu, (15/6)
kemarin masih terjadi. Saya tercengang sewaktu melihat sebuah foto berlatar
stadion megah yang gegap gempita, dua anak kecil menghadap kamera dan menunjukkan
apa yang menjadi keinginan terbesar mereka. Dua buah poster berjejer yang
bertuliskan “WE DON’T NEED THE WORLD CUP, WE NEED MONEY FOR HOSPITAL AND
EDUCATION” membuat saya tergetar, saya menangis!.
Kita kembali berkaca pada
pola hidup masyarakat Indonesia yang hampir tidak jauh berbeda dari masyarakat Brazil,
kecintaan masyarakat akan olahraga yang satu ini tidak perlu diragukan, bahkan
ini menjalar ke semua lapisan, dari anak-anak sampai kakek tua. Namun apa jadinya
ketika Sepak bola yang difahami sebatas kegemaran malah melahirkan fanatisme yang
begitu kental, menghasilkan
jurang-jurang pembatas dan kesensitifan antar pendukung klub? Bukankah ini tidak melulu
tentang olahraga? Perlukah kajian psiko-sosial dan pendidikan karakter?
Dari penuturan ini saya
masih meminjam kata-kata Nuran Wibisono untuk simpulan, bahwa seintim apa pun
hubungan masyarakat dengan sepak bola, semesra bagaimanapun relasi alam bawah
sadar mereka dengan si kulit bundar, toh urusan kesejahteraan hidup tetap tak
bisa diganggu gugat. Dan ketika negara tidak juga sadar bahwa Sepak bola sudah sampai
menyepak kewarasan maka kitalah yang harus mulai mempelopori.
Kewarasan
yang harus dikembalikan
Sepak
bola adalah baik jika sebatas tujuan olahraga untuk meningkatkan kebugaran.
Begitupun halnya dengan olahraga lain. Namun ketika telah ditunggangi
kepentingan-kepentingan terselubung dan menghasilkan dampak besar maka perlu
tinjauan kembali. Ya, selama ini hampir semua bermuara pada tunggangan kapital dan konspirasi.
Sehingga wajar saja jika kawan saya saking muak dan tidak mengertinya berujar “Sejak
saya membaca artikel tentang bahaya konspirasi, Alhamdulillah saya berhenti
membaca.”
Ketidakwarasan
yang dihasilkan dari perhelatan sepakbola saat ini tentunya jika terus
dilanjutkan hanya akan menambah teriakan-teriakan tanpa ada manfaat apapun untuk
laju perkembangan peradaban selain teriakan kepuasan dan penyesalan belaka.
Olahraga sudah
seharusnya dikaji secara aspek ideologis. Bagaimana olahraga yang menjadi kegemaran
masyarakat ini di-set-up sedemikian
rupa sebagai bagian dari aktivitas politik dan ideologis. Ya, seperti yang
telah dicontohkan di era permulaan peradaban Islam yang dikenal dengan istilah Furusiyyah (latihan berkuda untuk menjadi
kesatria), yaitu untuk memberikan, membela dan mengembalikan hak-hak yang
dirampas dari pemiliknya. Jika dalam terminologi saat ini dikenal dengan
istilah bela Negara.
Dalam konteks inilah, olahraga ini disyariatkan. Saya sebagai muslim sangat menyegani apa yang Allah firmankan, “Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang mampu kalian upayakan.” (Q.s. al-Anfal [8]: 60). Nabi juga bersabda: “Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah, ketimbang orang mukmin yang lemah.”
Dan kita semua tidak lagi berharap jika olahraga
hanya untuk diperlombakan belaka, dipertontonkan, dimonopoli dan dibisniskan
layaknya budaya yunani dengan gimnasiumnya yang tidak menghasilkan apapun
selain decak kagum dan tepuk tangan.
Semarang, Juni 2014
0 Response to "Sepak Bola, sebuah kegemaran yang (telah) menyepak kewarasan"
Post a Comment