Aktifitas yang berlangsung akhir-akhir ini cukup padat, meskipun masih sulit memisahkan ke-berbaur-an antara maksiat diri dan ketaatan. Ramadhan yang dinanti saya jalankan, meski dinamikanya, sedu sedannya, tangis tawanya, dan AMARAH yang hebat, mengisinya, menyumpalnya, dan membingungkannya. Satu yang aku yakini, Allah cukup teliti dalam menimbangnya.
Adapun tentang Palestina yang meremas jiwa ketika mengamatinya, soal ISIS dan kefenomenalannya, Indonesia dengan pemilunya, dan demokrasi dengan kesintingannya saya yakini semua bermuara pada keterkendalian dan akan beres juga. Karena bagi hamba-hamba-Nya yang optimis, telaten dalam beramal shalih, dan mengimani Allah melebihi keyakinan apapun, kondisi terpuruk saat ini adalah keyakinan akan kemenangan di depan matanya.
Amal soleh itu adalah perlawanan terhadap kekufuran. Pertarungan pemikiran antara ide yang haq, dan ide-ide kufur yang terlaknat.
Soal ini saya punya satu cerita. Saya berniat menyusun kembali sebuah naskah ideologis, dengan gaya gelitikan dan sentilan-sentilan ringan. Meskipun saya sadar, butuh waktu berbulan-bulan dalam penyusunan, ini baru langkah awal, semoga Allah berkenan memberikan rahmatnya berupa ide-ide cemerlang. Bismillah, Tetap pada sebuah perlawanan.
***
Epilog
Orang-orang Indonesia dilihat dari wataknya
sungguh khas dan mengagumkan. Sikapnya yang luwes, sopan dan nrimo ing pandum selalu menyambut
jabatan tangan orang-orang baru tanpa ada tendensi apapun. Dikatakan tanpa
tendensi memang begitu adanya, mereka tidak pernah percaya kabar pahit yang
mampu mengecewakan mereka. Sikap ini dibarengi pula dengan rasa takdzim pada
pengetahuan baru yang mereka anggap sebagai kekayaan ilmu Allah yang patut
dijaga dan dilestarikan. Pengetahuan baru mengenai gegap gempitanya ekomoni ala
kapitalis, neoliberalisme, dan beberapa teori marxis, hegel, freud dan yang
lainnya mereka himpun dalam bingkai ilmu pengetahuan untuk segera coba-coba
diwujudkan. Sungguh sebuah negeri yang penuh wibawa dalam menghimpun dan
mengkompilasikan pengetahuan.
Ini Indonesia, negeri yang tak pernah bisa ditebak kata hatinya. Negeri
yang baru kemarin pagi bersatu-padu dan teriak-teriak membela timnas sepak
bola, sore harinya saling lempar batu membela tim sepak bola daerahnya, mungkin
besok sudah duduk bersama minum kopi susu nikmati piala dunia. Negeri yang
tidak bisa ditebak ujung langkahnya dan juga pola hidup masyarakatnya.
Namun yang menarik, kunjungan saya kebeberapa
rekan dalam dua tahun terakhir di negeri ini selalu berujung pada pembicaraan
politik. Dirasa sableng oleh beberapa
kawan, saya pun sadar betul bahwa kesablengan
ini memang disengaja dan bingung, dalam artian kondisi yang saya sadari kalut, di
mana saya, pemikiran-pemikiran saya, ego saya, dan sentilan beberapa kawan
membuat pembicaraan suatu tema terasa alot dan puyeng. Kegundahan ini kemudian
saya lepaskan dengan interaksi berulanglewat tokoh-tokoh yang saya rasa handal
juga pendalaman masalah yang terus saya kaji ulang, hingga teks yang ada di tangan
anda ini adalah sebuah kebingungan yang disusun terlalu berani dan dipaksakan untuk
memberikan pemahaman.
Ketika pembicaraan demi pembicaraan terus
bergulir tanpa henti, dan pola interaksi yang terus dilakukan untuk menemukan
titik ideal, maka pertanyaan-pertanyaan berulang yang niscaya muncul, hadir
dengan berbagai macam gaya bahasa. Beberapa kawan saya sering bertanya
sekaligus menghakimi sinis, “emang gak
ada bahasan lain apa selain politik? Ah, lu sekarang ga asik! Ngomongin sesuau yang
jelas gak bakal tuntas, padahal ngurus diri aja belom becus!” Memang
begitulah, mereka berspekulasi bahwa saya kerasukan Jin Iprit abad millennium.
Namun apa peduli saya dengan anggapan skeptis
mereka terhadap gagasan-gagasan yang saya tawarkan? Toh hingga saat ini, politik
yang dimaknai oleh mereka sebagai sebuah pengaturan yang selalu bermuara pada
demokrasi tetap saya gauli untuk diutak-atik, ditimbang ulang, dan dihakimi.
Meskipun bagi mereka semua ini sudah jelas dan terang benderang, bahwa politik
dengan akses yang ekslusif-elegan lewat demokrasinya tidak perlu dibicarakan
lagi, mekanismenya telah jelas, gayeng, dan simple. Pun dengan para pejuangnya,
telah nyata mengadakan beberapa kali pemungutan suara, arus perubahan mulai
terasa, dan katanya kita semua cukup diam dan tak usah banyak bicara. Namun bagi saya seolah semua ini masih ada
yang mengganjal. Berbagai episode yang muncul yang dirasa banyak orang adalah
suatu resolusi perubahan, tidak juga berbeda alur cerita dari yang lama, masih
memilukan dan tidak terlihat akan membuat perbaikkan.
Buku ini akan mengisahkan kepada anda tentang kondisi Indonesia dilihat
dari perspektif absurd terskema. Sebuah sisi yang jarang dijadikan sudut pandang
dalam menilai Indonesia yang unik dan anggun bagai perawan lugu.
Semoga ketika kita berani memandang fenomena
dalam sudut pandang dari kebanyakan manusia tidak kemudian merasa lelah, salah, bodoh, dan
dekaden.
Semarang, Juli 2014
0 Response to "Fokus pada sebuah perlawanan"
Post a Comment