Suara teriakan komando angkatan bersenjata masih bisa kalah dengan
amarah bu Rusminah. Bu Rusminah hanyalah satu-satunya pemegang kendali di kelas
kami.
Kerongkongan dengan pita suara setebal dua inci itu telah mampu
membuat kami terkujur kaku dan sukses memasung kami dalam ketegangan yang
begitu mencekam. Di tengah hingar bingar obrolan yang sedang asik berbincang
sepak bola semalam, sangat ajaib bisa terhenti dalam waktu sangat singkat.
Sesingkat jin iprit ketika mencoba memindahkan istana sulaiman. Bukan! Sesingkat
pemilu yang melahirkan wakil rakyat. Bukan! Sesingkat bunyi kentut dalam
kereta. Alamaaaak! Baiklah aku menyerah merangkai kata. Sekarang aku
angkat tangan. Tapi, bukannya kemarin ada orang yang minggat dari jamuan makan malam,
kemudian dengan pelan ia menyelinap masuk ke keranjang? Siapa itu? Hah? Moral?
Maksudnya? Coba perlahan ceritakan biar aku faham!.
Baiklah. Bismillah.
Kemarin sore si Kusdi pergi memancing. Ya sekedar memancing saja.
Apa yang dia pancing hanyalah apa yang ia inginkan. Ia tak mau lebih melampaui
keinginan. Sebenarnya jujur saja tak ada bu Rusminah, kerongkongan, komando
pasukan dan ketegangan pada tulisan ini. Inilah yang sedang Kusdi pancing.
Kusdi memancing rasa penasaran, amarah dan kekesalan. Kusdi adalah orang
sederhana. Ia tak begitu suka cerita yang menggebor-geborkan khayalan. Ia
sangat senang bekerja di lapangan, bukanlah sebagai penulis fiksi yang hanya
mengenal dunia khayangan yang selalu hidup bersama fantasi-fantasi. Padahal itu
semua hanya menjadi realitas di alam mimpi saja, kemudian fantasi itu terdiam
lama dan tinggal menunggu mati. Kusdi tak pernah sendiri. Ia ditemani kedua
temannya — moral dan harga diri.
Jika moral sedang Kusdi belai, maka harga diri dengan sendirinya
menghampiri. Bisa dikatakan ia lebih manja dari balita yang merengek minta
kopi. Kehidupan Kusdi akan melebihi
sinetron seromantis telenovela jika ia bersama kedua rekannya itu pergi mandi
bersama. Mereka bergantian saling basuh, menggosok pinggang hingga pundak kemudian
luluran bergantian. Pada bagian-bagian intim mereka tak pernah berani meraba.
Mereka telah lebih dulu membuat kesepakatan untuk menjaga privasi dan
menjunjung tinggi rasa hormat. Sangat jarang yang seperti ini.
Kusdi, moral dan harga diri. Mereka berjenis kelamin sama sebagai
lelaki. Mereka adalah mahluk normal yang bukan gay. Mereka hanya berteman.
Berteman atas dasar hati dan berkomitmen untuk saling menghormati. Tak lebih
dari itu. Tak ada embel-embel materi. Ini benar-benar murni.
Kusdi, moral dan harga diri. Mereka bersahabat sejak lahir. Entah mulainya
kapan mereka saling kenal.
Kadang aku termakan anggapan orang juga, mana mungkin mereka
bertiga sudah berteman sejak dalam kandungan. Apa mereka saudara kembar? Aku
rasa tidak. Pada raut muka saja tak ada satupun yang sama. Mereka berdiri
masing-masing namun saling terkoneksi satu sama lain.
Tak usah bingung. Karena ini nyata, maka sudah semestinya percaya.
Antara Kusdi, Moral dan harga diri memang terjadi ikatan persahabatan yang
solid. Saking solidnya mereka akan mudah curiga jika ada yang mengganggu. Baik
itu aku ataupun temanku yang lain. Terkadang niat baik teman-temanku selalu
gagal karena mereka curigai. Patut disayangkan. Tapi mereka tak mau hal ini
jadi beban. Maka dibiarkan saja untuk menjaga pertemanan.
Kusdi, moral dan harga diri berteman atas dasar kesatuan. Mereka
tak pernah mempermasalahkan bentuk rupa. Malah aku tak bisa menggambarkan
bentuk muka dari kedua teman Kusdi itu. Entah bagaimana jika ku gambarkan
mereka dalam kata-kata. Haruskah aku menuliskan jika moral dan harga diri
adalah manusia buruk rupa atau hanya sebagai manusia peran pembantu yang
mukanya nampak kaku? Haruskah begitu?
Tapi jika kuselidiki, antara Moral dan Harga diri memang raut
wajahnya sedikit mirip. Berbeda jauh dengan Kusdi yang memiliki raut
keindonesiaan yang kental. Kusdi itu berkumis, Kusdi itu plagmatis dan kusdi
itu sangat keindonesiaan. Kusdi mirip sekali dengan banyak orang indonesia yang
kental dengan budaya tudung sarung dan tongkrongan ngalor ngidul. Sedangkan
moral dan harga diri, ah aku tak mampu gambarkan dalam tulisan, yang
pasti mereka mirip.
Entah awalnya bagaimana kehidupan Kusdi begitu dihormati karena
adanya Moral dan harga diri. Padahal dulu aku pernah mendapati Kusdi mengemis.
Waktu itu sedang berlangsung liburan sekolah. Kulihat sosok ceking yang sedang
pontang-panting membawa mangkok beling sebagai senjata meminta-minta. Tepat di
tengah stasiun kota, Kusdi beratraksi dengan wadah beling dan mimik muka penuh
iba. Aku begitu hafal ketika Kusdi melancarkan adegan kelaparan untuk
mendatangkan keprihatinan. Namun kala itu aku tak bertemu dua temannya.
Sebegitu solidkah pertemanan mereka? Aku tak begitu percaya juga.
Pasalnya ada beberapa kemungkinan dalam benak yang mampu menepis beberapa
kemungkinan yang terjadi ketika Kusdi mengemis. Mungkin saja waktu itu Kusdi
sedang iseng atau mungkin sekali jika Kusdi mencari kontroversi? Mungkin kan?
***
Kusdi berumur sama sepertiku. Namun kedua temannya aku tak tahu.
Mungkin karena Moral dan Harga diri memang tak suka bersosialisasi. Ketika ku
tanya, yang menjawab malah Kusdi sendiri. Aku heran mengapa bisa demikian.
Orang-orang disekitar juga tak pernah sekalipun berkenalan dengan kedua teman
Kusdi itu. Siapa mereka, darimana mereka, mau apa mereka. Sumpah! Aku tak tahu.
Ibarat tupai yang meloncat-loncat mencari biji kenari dan kopi,
Kusdi pun sama. Kusdi sering meloncat-loncat dari satu permasalahan ke
permasalahan lain. Bukannya ia mau melarikan diri. Malah aku sendiri yang
keheranan, ketika tak percaya jika masalah Kusdi selalu cepat terpecahkan.
Lagi-lagi kata orang berkat kedua temannya itu. Tapi kisah kemarin cukup untuk
membuat Kusdi dipukul setara kembali bersama aku dan semua temanku. Ya, tragedi
yang membuat dua temannya benar-benar pergi. Akan ku ceritakan di sini.
Kemarin adalah hari yang biasa. Sama seperti cuaca beberapa waktu
kebelakang. Sedikit angin berhembus dan awan yang mendung terus. Menjelang sore
hari, aku, Kusdi, Moral, Harga diri dan beberapa teman yang lainnya berkumpul
untuk pergi ke pesta si Tati yang berulang tahun. Waktu itu kami tengah bersiap
menyusun strategi kejutan di pesta Tati. Tak usah heran ketika kami beradu
argument, dua teman Kusdi malah diam membungkam dan ngacai. Aku tak berani
mengatakan jika dua teman Kusdi itu bisu. Singkatnya kami semua telah siap
dengan siasat. Selanjutnya berangkat bersama dengan angkutan kota.
Hanya setengah jam perjalanan. Kami tiba lima belas menit menjelang
magrib. Pestanya begitu meriah dan glamor. Kami semua sedikit minder,
terkecuali Kusdi dan dua temannya itu. Iya berjalan ngangkang dengan radius
putaran kaki mampu berputar hampir 1800 penuh. Coba bayangkan! Dada
membusung besar, rambut tersisir ke belakang, baju hasil pinjaman dan mereka
bertiga saling berpegangan. Ambooyy. Jika mampu aku sama kan, mereka
mirip dengan tiga tokoh bersaudara kondang yang sering tampil di televisi.
Siapa itu namanya? Ahhh.
Aku diam memandang situasi dengan perasaan minder menjulur ke
radang. Teman-teman berpencar memburu hidangan yang sedianya telah menjadi
jamuan makan malam. Aku sendirian di pojok bangku yang berhadapan dengan kolam.
Namun, keramaian yang membuat aku kesepian itu hanya mampu klimaks di tengah
jalan. Pasalnya aku mendapati Kusdi berkenalan dengan wanita seksi. Bentuk tubuhnya
gemulai dengan mimik wajah yang haus sentuhan. Aduhai, sangat aduhai membuatku
nyaris mengeluarkan liur. Sesaat sempat kaget dan bertanya dalam hati kemana
dua temannya pergi? Oh ternyata harga diri tertutupi tubuh Kusdi dan wanita
seksi itu. Aku pastikan juga jika Moral pasti bersama mereka.
Lima menit mengalihkan pandangan mampu membuat bumi berputar lebih cepat
lima kali. Ya, penglihatanku tak mungkin keliru, karena mata ku dinyatakan
sehat oleh dokter kandungan. Aku sedikit tak percaya melihat kusdi yang tengah
asik bercumbu dengan wanita seksi yang baru saja dikenalnya. Gairahku tersentuh
juga. Hasratku yang telah mati selama lima tahun itu seakan lahir kembali
dengan kondisi montok dan sehat. Begitu dahsyatnya gairah Kusdi yang mampu
membuat gairahku timbul ke permukaan. Aku tahan, aku tahan, aku tahaaaaannnn!!!
Akhirnya aku bisa juga membalikan kondisi ke semula.
Dalam kondisi tenang aku masih memperhatikan adegan demi adegan
Kusdi di pojok yang sepi itu. Fantastik! Harga diri juga ikut berkontribusi
meraba-raba untuk membuat situasi lebih mesra. Namun sayang, ditengah jalan
Harga diri di tendang ke kolam. Aku begitu terkaget.
“kamu kenapa? aku tak melihat moral. Kemana dia? Aku kira tadi
bersama-sama”. Pertanyaanku pada Harga diri terlontar ketika ia berenang
menghampiri. Dengan cepat dan masih menghela nafas karena kelelahan, ia
menjawab:
“Moral dimasukan keranjang awal-awal”
n Selesai
Sukabumi, Agusrus 2012
oleh: Aab Elkarimi
0 Response to "Pertemanan Kusdi"
Post a Comment