PASTA GIGI

cerpen 2012
oleh: Aab Elkarimi

Ilustrasi by: google
Ada kejanggalan ketika aku berkunjung ke sebuah negeri dalam mimpi. Di sebuah negeri yang masih bertetangga dengan negeri 1001 malam itu ada satu hal yang membuat dahiku bertambah mengkerut. Di negeri ini pasta gigi merupakan benda yang sangat awet dan jarang sekali digunakan. Jika suatu keluarga membeli sebuah pasta gigi, maka tiga tahun bukanlah waktu yang cukup untuk menghabiskan satu buah pasta gigi. Masyarakatnya hampir tak ada yang berani menggosok gigi. Adanya kepercayaan kutukan bagi orang yang berani menggosok gigi setiap hari tertancap kuat dan membudaya. Tak aneh jika negeri ini dikatakan negeri  mulut toilet.
Negeri ini berlandaskan asas kekeluargaan dan sistem pemerintahannya berjenis kelamin republik. Inilah sedikit info yang ku dapat tentang  profil negeri ini. Hampir sama dengan negeriku. Mayoritas penduduk negeri ini bermata pencaharian sebagai advokat, kritikus dan pejabat. Negeri mulut toilet ini merupakan negeri yang sangat ditakuti dan berpengaruh.
Hanya ada satu-satunya keluarga yang rajin menggosok gigi di negeri ini. Keluarga ini begitu sohor karena terkutuk dan sangat dikucilkan. Adalah keluarga Pak Kusmo.
Pak Kusmo merupakan orang pertama yang memberitahuku seluk beluk negeri ini. Katanya di negeri ini orang yang menggosok gigi begitu tabu dan tak jarang menjadi bahan cemoohan untuk kemudian dikucilkan. Kalimat yang keluar dari orang yang menggosok gigi tak akan pernah dihargai di sini. Sebuah mimpi yang hanya akan menjadi mimpi ketika orang seperti pak Kusmo berbicara di podium dan dihargai warga. Di negeri ini orang-orang berbicara begitu spontan tanpa ada saringan. Berjuta pohon kata tertanam subur di sini. Setiap harinya petani perkebunan mampu menghasilkan berjuta kilogram kata-kata yang siap di pasarkan sebagai bahan pokok makanan penduduk negeri ini.
***
Suara-suara itu nampak suai bergandengan dengan bau hebat yang keluar dari banyak mulut. Nampak terlihat di sana, ada Subarjo, mas Kusdi dan beberapa warga lain sedang berkumpul berdiskusi. Sudah dua hari penuh diskusi ini berlangsung. Topik bahasannya menyangkut sebuah keluarga yang kelaparan. Sudah ada seratus ribu solusi yang dihasilkan dari diskusi ini. Kata pak Kusmo diskusi ini akan terus berlanjut seiring dengan munculnya solusi baru untuk memecahkan masalah. Kulihat di sampingku pak Kusmo tertunduk malu dan sesekali sedikit berbisik padaku.
Diskusi masih berlangsung panas. Longlongan pendapat bersahutan dari kanan-kiri. Bau toiletpun tak bisa dihindari.
Pantas saja sewaktu aku masuk ke negeri ini, di luar gerbang perbatasan sudah tercium bau toilet yang menyengat. Aku tahu penyebabnya sekarang. Ini sebuah pertanda sedang berlangsungnya diskusi warga. Sesekali terdengar suara orang berpendapat yang bagiku sarat akan istilah. Aku tak mengerti sama sekali apa yang dikatakan. Beruntung Pak Kusmo yang sedari tadi yang tetap ada di sampingku berkenan menjadi pemanduku. Ia dengan sabar berbisik ke telingaku menerjemahkan istilah-istilah yang keluar dari banyak mulut yang bau busuk itu. Hidungku tak bisa lepas dari masker yang kubeli tadi di perbatasan wilayah kenegaraan tadi.
Pertama aku masuk ke negeri ini, aku merasakan sensasi yang luar biasa. Tak bisa kutuangkan dengan kata-kata ketika melihat penataan kota yang rapih dan rindang oleh ribuan pepohonan aneh. Tak pernah sedetikpun pandangan mataku menangkap seonggok sampah di setiap sudut ruang di negeri ini. Semua bersih. Kata pak Kusmo sih ini dikarenakan masyaraknya begitu sadar peraturan-peraturan yang sebetulnya tak ada satu pun yang tertulis. Saking seringnya warga berbual maka peraturan itu dengan sendirinya telah lekat menempel di setiap orang.
Aku heran mengapa bisa begini.
Begitulah yang terpikir olehku ketika pertama singgah di sini. Pertanyaan itu terus ku simpan sebelum akhirnya terjawab ketika aku berpapasan dengan berjuta sosok manusia penghuni negeri ini. Barulah dari sini aku tahu semuanya.
Meski tak ada sampah, namun bau di sini melebihi tempat pembuangan sampah di negeriku. Masyarakat disini tak mempunyai cukup waktu untuk membuang sampah sembarangan. Mereka sibuk dengan forum-forum diskusi maupun kajian ilmiah. Tetapi tetap jika ku bandingkan dengan negeriku, negeri ini jauh lebih bau.
***
Pak Kusmo merupakan kepala keluarga dari enam jiwa. Ia memiliki istri dua dan mempunyai empat putra. Hanya keluarga inilah yang tak mahir bicara dan bersosialisasi. Setelah ku selidiki ternyata hampir setiap anggota keluarga di sini gemar menggosok gigi. Tak hanya pak Kusmo, tetapi semua anggota keluarga di sini sangat rajin membersihkan mulutnya.
Bukan sebuah kebetulan jika takdirku pergi ke sini hanya untuk mengenal keluarga ini. Keluarga yang tak banyak berkata namun tetap harmonis. Jujur aku merasa begitu kaku ketika pertama kali berada di tengah keluarga ini. Hal ini terbukti ketika aku di jamu makan siang bersama semua anggota keluarganya.
“dek, silahkan dicicipi makanannya. Selamat makan”
Hanya satu kalimat itu yang keluar dari mulut pak Kusmo. Selepas itu tak satu katapun terucap. Suara sentuhan sendok pada piring yang masuk ke telingaku beberapakali memecah kesunyian. Dan yang kulihat hanya beberapa lemparan senyum Pak Kusmo pada kedua istrinya dan ke empat anaknya. Istri dan keempat anaknya tak mau kalah, mereka melemparkan senyumyang jauh lebih renyah. Begitupun ketika mereka semua menatapku, mereka melempar senyum juga padaku. Indah sekali. Aku baru merasakan keindahan sebuah keluarga macam ini. Tanpa kusadari selera makanku begitu memuncak di sini.
Namun baru saja lima sendok nasi yang masuk ke mulut, kegaduhan dan aroma tak sedap tercium dari luar. Pak Kusmo langsung berhenti bermain dengan sendoknya dan melongok ke jendela.
Diluar sana orang-orang sedang ramai berbincang mengenai lurah yang tak pro rakyat. Aneh, mereka mengkritik begitu keras dan gaduh sekali. Ada jumadi yang senantiasa meneriakan kalimat pujian pada tuhan dalam situasi seperti ini.
“Allahuakbar! Allahuakbar! Ganyang lurah Soleh. Ganyang! Si Soleh yang biadab menindas rakyat. Allahuakbar! Allahukabar!”
Ada juga Sahroni yang menggebu bercerita kejelekan lurah dan ia berhasil menghipnotis puluhan masyarakat lain untuk ikut mengutuk lurah Soleh. Aku hanya bisa tertegun dengan situasi seperti ini. Namun tatapan mataku menangkap tujuh senyuman dari mereka yang sedang makan. Ya, seluruh anggota keluarga ini cukup tersenyum saja. Bahkan putra bungsu pak Kusmo yang baru berumur dua belas tahunpun ikut tersenyum. Aku heran melihat mereka yang tetap menikmati hidangan tanpa merasa terganggu kegaduhan itu.
“Ini sudah biasa dek, mari silahkan makan, tak baik jika makanannya tidak dihabiskan” istri pertama pak Kusmo memintaku menikmati hidangan. Dan selanjutnya ia kembali melemparkan senyuman.
Namun suara di luar semakin keras terdengar. Beberapa detik berselang terdengarlah ketukan pintu. Pak Kusmo beranjak dari tempat duduk untuk memastikan siapa yang bertamu.
“Kusmoooo…apakamuatidakpedulidengannasibrakyatdisni?.Marisamasamakitaganyanglurahkampretuntukmemperjuangkanhakrakyat.manarasasolidaritasmu?.Manarasasimpatimu?.Jikakamumasihmaudianggapwargadisniayoikutkamiberdemokekantorkelurahan”
Salah satu warga berbicara dengan sangat cepat. Aku meraba-raba ucapannya. Terdengar seperti sebuah mantra. Akhirnya setelah mengeja aku bisa menangkap makna bahwa ia memaksa pak Kusmo ikut berdemo.
Baru saja tiga menit  jam digitalku berputar. Yang semula terlihat hanya ada sekelompok warga berkumpul, sekarang  sudah tercipta satu pleton pasukan yang tengah bersiap dengan spanduk dan tulisan. Aku diajak juga oleh pak Kusmo untuk menyaksikan tragedi jatuhnya lurah siang ini. Pak Kusmo menyakinkanku jika lurah Soleh akan lengser siang ini juga. Begitulah katanya.
“Pemimpin dinegeri ini tak pernah ada yang lama menjabat. Lurah Soleh-pun baru seminggu diangkat sebagai lurah disini. Presiden negeri inipun tak ada yang pernah menjabat sampai dua priode. Terbukti negeri ini sudah menghasilkan 250 presiden semenjak merdeka tiga puluh tahun yang lalu.” Bisik pak Kusmo ke telingaku.
***
Mulut yang dari tadi hanya bisa menganga malah semakin melebar. Tak terasa olehku sudah seliter air liur yang jatuh untuk menyaksikan tragedi ini. Hanya setengah jam berselang, akhirnya lurah Soleh pun lengser. Aku takjub. Takjub sekali. Inilah yang kata orang disebut-sebut sebagai suara rakyat = suara tuhan.
Selepas acara pelengseran lurah Soleh usai akupun langsung kembali ke rumah pak Kusmo. Namun warga masih bercokol asik untuk kembali berdiskusi pemilihan lurah berikutnya.
“Mungkin pemilihan lurah ini akan berlangsung satu minggu seperti pemilihan kemarin” ujar pak Kusmo yang sedang menyesuaikan langkah kaki di sampingku.
***
Tak terasa sudah tiga hari aku berada di negeri ini. Pengalaman luar biasa ini akan menjadi bahan pelajaran baru bagiku, bagaimana sebuah Negara menjalankan konstitusinya. Ya, aku berharap sekali dengan kunjunganku ke negera ini mampu merubah negeriku. Meskipun kunjunganku ini cuma-cuma dan tidak mengurangi anggaran Negara.
Pak Kusmo masih menjadi pak Kusmo. Istri pertama dan kedua tetap bisa harmonis meskipun jarang sekali berkata-kata. Dan empat anaknya masih tetap menjadi empat anaknya pak Kusmo. Namun di luar sana pemilihan lurah belum juga selesai. Aku pergi ke kamar mandi untuk menggosok gigi. Setelah itu barulah aku bisa terbangun dari mimpi ini.
n  Selesai 

0 Response to "PASTA GIGI"

Post a Comment