MISKIN DATA DALAM MEMAHAMI FAKTA BERAKIBAT KERDILNYA PEMIKIRAN

Ilmu itu bukan pekara suka dan tidak suka, bukan perkara sesuai atau tidak sesuainya dengan kita. Ilmu bukanlah perkara emosional! Ilmu adalah sesuatu yang bersifat netral, karenanya kita harus mendalami data dan faktanya secara menyeluruh. Kita tidak bisa menghakimi sebuah fakta jika data-data yang digunakan hanya separuh. Dalam dunia akademisi misalnya, kita tidak bisa menyusun makalah, skripsi, tesis, disertasi, paper dll dengan data yang minim. Misal seperti kasusnya Pak Ainur rofiq dalam disertasinya tentang suatu Kelompok Islam. Data yang digunakkan beliau hanya 26% dari banyaknya sumber utama yang menjadi rujukan kelompok islam itu, artinya sumber bacaan yang beliau gunakan hanya 50-60 buah buku dari 277 buku yang ada, maka disertasi ini bisa kita katakan GAGAL karena alasan terbesar adalah MISKIN DATA.

Contoh lain dalam dunia Sipil, misalnya, kita tidak bisa menghakimi bahwa sebuah bangunan sebentar lagi akan roboh karena ada retakan di dinding. Menvonis sesuatu secara prematur akan menimbulkan efek yang besar. Kita harus mengumpulkan data, mencari analisis hitungan sebelum bangunan itu didirikan, mengetahui data tanah, dan mulai mempelajari sebab-sebab retakan. Baru setelah semua data terkumpul kita bisa menentukan simpulan. 

Suatu ilmu muncul merupakan buah dari akal melalui proses berpikir. Dalam memahami akal dan cara berpikir, selain harus ada realitas, indra, dan otak, faktor terpenting adalah mutlak adanya informasi awal (Ma'lumat Tsabiqah) yang valid. Tanpa banyaknya informasi yang valid kita tidak bisa mengatakan seseorang itu telah melakukan proses berpikir yang benar.

Mengaitkan paparan saya terkait miskin data dalam memahami fakta dengan kasus terbaru yang sekarang sedang booming adalah tentang kelompok ekstreme Islam. Dalam pemberitaan di media masa baru-baru ini, banyak terberitakan pencucian otak, doktrinisme, dan citra buruk yang miring terhadap Islam. Bisakah kita langsung percaya terhadap informasi itu? Tentunya kita harus mengumpulkan data dengan pemikiran yang bersih dari opini-opini, karena informasi awal bukanlah opini awal. Kita harus mengumpulkan data terkait Islam seperti apa yang diberitakan, mengumpulkan data tentang sejarah kelompok ekstreme Islam, mencari tahu siapa yang ada dibelakang media yang memberitakan itu dan tujuan utamanya seperti apa, kemudian membaca fakta kondisi kontemporer terkait kemasyarakatan. Setelah semua data terhimpun, barulah kita bisa melakukan proses berpikir untuk menghasilkan simpulan. Adakah korelasi antara berita miring terhadap Islam dengan kampanye? Terkait tujuan utama pemilik media dan siapa para jawara di belakangnya? Terkait rival di pemilu antara pihak nasionalis kanan, nasionalis kiri, dan Islamis. Lebih jauhnya kita bisa mengaitkan pemberitaan ini dengan fakta valid hegemoni oknum-oknum Ankarsas yang ingin merubah haluan masyarakat muslim di Indonesia dengan terpilihnya presiden boneka di 2014 nanti. 

Maka yang saya tanyakan sudah sejauh mana menghimpun informasi valid?
Susah? Inilah berpikir, karena berpikir tidak diperuntukan bagi orang MALAS!.

WAHAI PARA PEMUDA MUSLIM, BERPIKIRLAH EFISIEN. Selamat Berpikir.

Wallahua'lam

(Sukabumi, 12 Januari 2014)

0 Response to "MISKIN DATA DALAM MEMAHAMI FAKTA BERAKIBAT KERDILNYA PEMIKIRAN"

Post a Comment