Oleh: Abdul Qodir
Harmoko tak lagi mendominasi televisi, sementara
itu para mahasiswa berjubel merapat, berpegangan erat, dan saling percaya bahwa
perubahan ada di depan mata. Mahasiswa penjaga nurani mulai berteriak untuk
revolusi, sejak itu Habibie bersiap jadi presiden transisi, dan Suharto lengser
malu-malu. Di bawah sinar matahari panas, di antara aroma bakaran ban, di antara
dentuman senapan, dan di antara banyak korban berjatuhan bercampur dengan keseganan yang
mahasiswa peroleh dari rakyat, kita –mahasiswa-- pernah tersenyum dengan ini.
Ciamik, indah sekali!.
Tapi
rasanya baru kemarin, pasca 1998 mulailah terjadi banyak rombakan. Arus gerakan
berpindah haluan. Dari yang semula mahasiswa murni berjuang untuk sebuah
gagasan, lewat diskusi intelektual, menjadi pengawal dari berbagai kebijakan,
dan sekuat-kuatnya menghimpun suatu gerakan besar, namun yang sekarang terjadi
adalah menjamurnya gerakan mahasiswa yang berhaluan ke arah kegiatan amal,
pembagian sembako, dan aksi tanggap bencana.
Kita
tidak sedang menghukumi benar atau tidaknya suatu perbuatan, tapi kita akan membahas
bagaimana menentukan skala prioritas untuk menentukan hal mana yang harus
pertama kita ambil. Karena hal baik akan menjadi percuma ketika dilakukan pada
saat yang tak tepat,dari sinilah skala prioritas menentukan berarti atau
tidaknya sebuah tindakan.
Dewasa
ini, banyak yang terjebak oleh usungan kata "kerja nyata" yang
seolah telah berupaya menentramkan sesama tapi tak peduli pada pongkol masalah
yang sebenarnya. Jika saya analogikan: ada suatu genangan air di ruang tamu
dikarenakan atap yang bocor, ternyata, solusi yang diambil malah mengambil lap
untuk menghilangkan genangan. Apa tindakan ini benar? Tentu bodoh dan kurang
tepat! Solusi yang cemerlang adalah kita harus naik ke atas atap, tergopoh
menaiki tangga, dan membenarkan genteng yang bolong. Secara otomatis ketika penyebab
genangan telah ditiadakan maka genangan tidak akan terciptakan, dan bahkan bisa
jadi genangan itu akan hilang dengan sendirinya.
Ini pula
yang terjadi dilingkungan mahasiswa. Banyak yang terjebak dalam tataran
berpikir praktis, mereka disibukkan dengan kegiatan amal, mencoba meninggikan
sisi perasaan dengan menghilangkan esensi manusia sebagai makhluk yang
mempunyai akal. Banyak dari kalangan kita sibuk mencari dana untuk menuntaskan
kemiskinan yang padahal pihak yang memiskinkan tidak dihentikan. Bagi mereka kerja
nyata lebih utama dibanding berdialog, berdiskusi, rembuk mencari solusi dan merumuskan
kebaikan untuk negeri.
Pokoknya,
arus gerakan mahasiswa amal ingin lembut selembut coklat dalam genyaman.
Pokoknya,
arus gerakan mahasiswa amal hanya mengenal satu kata: “kerja nyata!, kerja
nyata!, kerja nyata!, kerja
nyata!” tanpa dibarengi pandangan
menyelesaikan permasalahan secara tidak parsial (menyeluruh).
Sederhana
saja sebenarnya, saya hanya ingin berkata: BEDAKANLAH ANTARA SEMBAKO DAN
GAGASAN
0 Response to "GAGASAN DAN SEMBAKO"
Post a Comment