Dari Hunian Berencana Menuju Perubahan Lingkungan

Oleh : Abdul Qodir

Rangkuman:
Pembangunan memang suatu keniscayaan. Tanpa itu semua manusia jumud dalam kebimbangan untuk bertahan diantara tuntutan persaingan dan kebutuhan. Namun kita ketahui pembangunan pula lah yang bisa menyebabkan keseimbangan alam semakin hari semakin goyah dan terancam, tidak terkecuali dalam industri perumahan. Para developer yang tidak memperhatikan perencanaan secara matang ternyata berdampak buruk terhadap keseimbangan alam. Lewat beberapa kebijakan dan jalur birokrasi yang hidup diharapkan permasalahan lingkungan akibat semrawutnya perencanaan hunian dapat terselesaikan.

 _______

Awalnya hanya permasalahan harga, Lantas ada gerombolan orang beregu yang berdiskusi permasalahan diri dan keluarga. Mereka intens berhubungan, meeting berkali-kali, memutuskan permasalahan, merajai pelan-pelan, lupa aturan, berbuat banyak kerusakan dan akhirnya melebar belepotan, yang awal semakin membesar dan menjadi sebuah gagasan, sementara permasalahan yang dihasilkan berdampak pada nasib khalayak. Tiba-tiba indonesia dalam bahaya! tersiar kabar di media bahwa pembukaan lahan hijau besar-besaran nyinyir terdengar. Longsor, banjir dan semakin banyaknya warga terlantar tanpa hunian menjadi headline tahunan, sementara di sisi lain investasi hunian semakin gila-gilaan. Jari tengah dan ibu jari ibaratnya, perbedaan yang jauh antara kaya-miskin membawa kita pada realita bahwa ada satu garis pemisah yang antara satu sisi dengan lainnya berjalan saling meninggalkan. Yang miskin meninggalkan si kaya dengan terus meratapi penderitaan, sementara si kaya meninggalkan si miskin dengan melakukan pembangunan gila-gilaan.

Ya, pembangunan memang suatu keniscayaan. Tanpa itu semua manusia jumud dalam kebimbangan untuk bertahan diantara tuntutan persaingan dan kebutuhan. Namun kita ketahui pembangunan pula lah yang bisa menyebabkan munculnya permasalahan baru, salah satunya keseimbangan alam yang semakin hari semakin goyah dan terancam. Ini dikarenakan kapitalisasi buta yang menjadi asas penggerak, sehingga pembangunan yang dilakukan ngawur dan serampangan.

Keterlambatan saya menuliskan gagasan tentang eksploitasi lahan hijau skala global merupakan penyesalan saya yang mendalam. Meskipun demikian, saya masih percaya bahwa ada banyak permasalahan lain yang belum terpecahkan, dan kita bisa ambil bagian dari yang terkecil.

Masih lekat dalam bayangan saya, ratusan pohon mahoni yang pongah pernah memantati agar tak didekati. Rumput-rumput sedada di bawahnya bagaikan brewok mafia penjagal yang membuat bulu kuduk tak bisa diam. Burung-burung pipit biasanya hinggap sebentar di dahan yang tak terlalu tinggi pada salah satu tangkai mahoni, kemudian lekas meluncur ke bawah menuju sawah. Asri!  Tak perlu waktu lama, sekarang semua  telah mati. Area hijau satu-satunya di desa kami kandas, luluh lantah dan menyisakan rasa sesak yang dalam. Perumahan megah terlanjur berdiri kokoh tanpa bisa dicegah. Deretan mahoni tergantikan oleh deretan bangunan megah dengan bandrolan tinggi dan (katanya) menguntungkan.  Namun hunian yang telah mengorbankan ratusan pohon mahoni itu dibiarkan kosong karena dibeli oleh para pemilik modal sebagai investasi yang menggiurkan. Permasalah yang lebih besar adalah dampak sesudahnya, lingkungan.


Pola hidup Matealistis

            Kita sedang berbicara tentang lingkungan, namun  akan sedikit saya singgung tentang pola hidup sebagai motor penggerak dari sifat yang merusak. Pola hidup materialistis ini dibentuk oleh sistem kapitalis, yang menghasilkan tindakan yang landasannya keuntungan semata. Asas utamanya adalah manfaat, bukan lagi baik buruk dan ini berimbas pada tingkah laku dan pola pikir, apapun perbuatan yang dilakukan yang penting bermanfaat bagi dirinya sekalipun itu perbuatan buruk. Akibatnya, seperti pada permasalahan perumahan, banyak perumahan dibangun dengan membuka lahan hijau, setelah jadi dibangun, bukan menjadi solusi sebagai tujuan utama pemerintah yang mencanangkan seluruh warga Indonesia harus memiliki hunian layak huni, namun menambah sederet permasalahan baru yang serius. Perumahan dijadikan media investasi oleh pemilik modal. Bisa kita lihat ada banyak rumah yang terjual namun kosong, sementara tak jauh dari situ kontrakkan penuh sesak dan kumuh. Lingkungan hijau yang hilang? Jangan Tanya lagi!

Hunian berencana

“jika saya diberi waktu 8 jam untuk menebang pohon, maka akan saya gunakan 6 jam untuk mengasah kapak.” (Abraham Lincoln)

Kata bijak yang sudah familiar ini berimplikasi pada perencanaan atau persiapan. Begitu pentingnya persiapan ini karena hasil yang maksimal sangat dipengaruhi oleh persiapan yang matang. Ini berlaku juga pada hunian. Mengapa hunian juga mesti berencana? Karena hunian merupakan salah satu pembentuk karakter dan cikal bakal berawalnya kehidupan para pembesar. Dari hunian ini juga bermula beberapa persoalan lingkungan, sosial, budaya bahkan ekonomi.

Saya mendefinisikan hunian berencana ini adalah kita membuat suatu bangunan untuk kita tinggali dengan perencanaan yang matang. Yaitu perencanaan yang tidak hanya menyamankan satu pihak individu, namun juga ramah tetangga (sosial), ramah kantong (ekonomis), dan ramah alam (lingkungan).

Saya sedikit iseng mengamati salah satu desain hunian di perumahan baru dekat rumah. Sepintas dari segi penampilan memang menggiurkan. Namun kejanggalan baru saya temui ketika saya masuk dan menengok desain dan tata ruangnya. Dalam hal syarat umum (40% : 60% atau 30% : 70%) sebuah bangunan sehat, pada kasus perumahan itu tidak diterapkan. Artinya 40% lahan hijau dan 60% bangunan pada bangunan perumahan itu sengaja tidak digunakan sebagai patokan. Dengan demikian sedari awal perumahan ini tidak bertujuan ganda (keuntungan dan keselarasan dengan alam)  padahal, area ini sebelumnya merupakan jantung pernafasan desa kami Juga dalam hal penempatan bukaan, baik pintu, jendela, maupun bukaan penunjang lain semisal rooster dan glass block banyak yang mati. Macetnya sirkulasi udara, cahaya matahari yang tidak menjamah tiap ruangan dan tidak adanya tumbuhan sebagai filter udara merupakan permasalahan yang menjadi sorotan. Apa akibatnya? Benar! Saya bisa menebak, potensi penggunaan AC (air conditioner) pada tiap rumah sangat besar. Jika kita kalkulasi, misal, setiap rumah menggunakan dua buah AC. Pada area perumahan itu ada 400 unit rumah, maka 800 unit AC berada pada wilayah itu. Padahal kita ketahui bersama bahwa sifat yang mendasar  pada AC adalah menyejukkan suasana dalam ruangan dan menaikkan suhu di luar ruangan, di samping kandungan Freon dan refrigeran lain yang menjadi kontributor pemanasan global.

Tegasnya kebijakan dan standarisasi

Saya tahu bahwa Kementrian Perumahan Rakyat dalam  hal ini sangatlah bekerja keras. Beberapa kebijakan telah dikeluarkan untuk mengatasi permasalahan yang lebih besar dari ini yang saya sendiri tidak mengetahuinya. Semisal, UU no 20 tahun 2011 tentang rumah susun yang menjelaskan bahwa rumah susun dibuat untuk menyisakan area hijau. Namun uniknya tujuan Kementrian Perumahan Rakyat ini tidak selalu mulus, tiba-tiba lahan yang sedari awal diperuntukkan untuk penghijauan malah digunakan untuk keperluan pembangunan dari kementrian yang lain, misalnya. Alhasil rumah susun berdiri tinggi dengan berbagai macam konsekuensinya, sementara lahan hijau tidak juga tercipta.

Contoh di atas merupakan kurang tegasnya sebuah kebijakan. Budaya kompromi sering kali mengaburkan tujuan dan visi misi, alhasil permasalahan baru yang muncul. Pun demikian dengan hunian, peraturan kebijakan yang selama ini ada belumlah cukup tegas dalam pelaksanaannya, terlalu banyak kompromi. Ini berimbas pada pembangunan yang sekenanya.

Saya kira pemerintah perlu mengeluarkan dan menggalakkan kebijakan standarisasi rumah dengan patokan dasarnya lingkungan. Konsep arsitektur hijau yang gaungnya sedang membahana bisa dijadikan dasar perencanaan. Misalakan pemerintah mengeluarkan standarisasi tiap bangunan kelas menengah untuk mewajibkannya roof garden (taman atap) pada saat pengajuan IMB. Atau alternative lain yang lebih pro lingkungan.

Dengan kebijakkan yang ketat dalam masalah hunian diharapkan bisa mengatasi permasalahan lingkungan.
Wallahua’lam



0 Response to "Dari Hunian Berencana Menuju Perubahan Lingkungan"

Post a Comment