sekelumit cerita subuh

Wajah bumi subuh masih sama seperti kemarin dan kemarinnya. Ia masih kuat, tak pernah stretching sebelum giat beraktifitas. Namun subuh ini agak gelap, mungkin bumi ini sedikit menguap karena bosan mendengar toa masjid bersahutan, tapi tak ada seorangpun yang keluar. Ia hampir tertidur karena adzan yang dikumandangkan mengalun dari kerongkongan kakek uzur. Memang benar. Aku saja yang terbangun malah ingin kembali tidur.
Ki Hafid diusianya yang ke 72 belumlah pikun, tapi tak biasanya ia adzan dengan mengulang kalimat hayya a’lal falah sebanyak empat kali, otomatis ini membuat bumi pagi ini berkerut dahi keheranan. Dengan menghilangkan kalimat hayya a’lasshalaah ia bersuara melengking penuh percaya diri, bak biduan dangdut yang terus mengerahkan seluruh daya upaya menarik hati penonton untuk bergoyang bersama dan memberi saweran. Lengkingan keras kadang bisa membuat shock banyak orang. Namun tidak untuk kali ini, meskipun Ki Hafid mengganti kalimat adzan dengan nyanyian lirik setan pun, demi Allah, tak akan pernah ada yang sadar dan peduli. Beginilah subuh kali ini, seperti subuh-subuh kemarin, suasananya masih saja sepi.
Surau kecil yang mengutara pintunya ini begitu rindu menanti raganya dihuni puluhan jama’ah. Nyanyian rindunya bahkan melebihi imajinasi kondangnya nizami – Majnun ketika dibuat gila oleh Layla. Barangkali tak ada setai kukunya keromantisan kisah dari timur tengah itu dibanding dengan kerinduan surau ini pada jama’ahnya. Di luar semua itu, siang hari, toa yang diletakan di atas genteng, merasa terinjak karena selalu kalah oleh sound system organ tunggal. Ah aku sedikit tersipu haru. Bukan karena ketidakberdayaan toa masjid dalam menghadapi keroyokan suara dangdut, namun fungsi tempat ibadah yang hanya jadi syarat bahwa desa ini masyarakatnya muslim. Belum lagi ketika kuceritakan pada beberapa orang yang kutemui di masjid kampus, tentang lahan kosong di depan surau yang hanya ramai waktu sore hari anak-anak bermain, dan para mahasiswa yang tak bermodal, nebeng untuk pacaran, dalih mereka sih ini pacaran islami. Seakan keberadaan halaman surau ini menjadi gedung terbuka serbaguna yang bebas  diperlakukan asalkan tidak mengganggu ketentraman orang yang beribadah. Ini yang semakin menambah kerutan dahi, meskipun sore hari ada banyak orang di halaman surau, namun ketika maghrib menjelang, busssshhhhh. . . serentak semua bubar bagai debu yang bertebaran. Padahal mareka bubar sepuluh menit sebelum adzan maghrib dikumandangkan. Luar biasa!. surau ini begitu sendu, murung dan tak menunjukan aura kesucian. Namun mereka tetap berpendapat untuk tidak mau mengganggu orang yang ingin khusyuk beribadah. Ini konsep toleransi sesama umat seagama, kata mereka. Islam itu kan bukan paksaan mas, karenanya kalau antum pengen beribadah, beribadah aja. Amalunaa amalukum!.
Hebat! Aku kadang terbegokan dengan kalimat itu. Lidah mereka memang lihai dan ajaib, tapi setelah aku berpikir dalam kondisi tenang, pemahaman ini jauh dari sesuai. Sial! Jika saja pikiranku cepat tanggap pada mereka, dan lidahku cukup dalil untuk meruntuhkan teori mereka maka akan kuhabisi saat itu juga. Ah, otakku masih meraba-raba. Subuh masih dingin, antara perasaan dan akal belum sepenuhnya terkoneksi. Aku masih ngantuk.
“Ekhemm.. kheemm.”
Terkagetkan oleh suara batuk mas Fiqly  yang disengaja dan terburu-buru. Aku langsung bangun dari penantian panjang menunggu imam. Pandanganku masih kunang-kunang. Tanpa harus aku pastikan, memang hanya ada tiga orang. Aku paksakan berdiri. Bismillah.
Nafas mas Fiqly masih terengah-engah. Dengan tergesa, ia bergegas menuju mihrab dan Ki Hafiz langsung mengumandangkan Iqamat. Lengkingan iqamat ki Hafid keluar dari microphone yang telah terbiasa digunakan untuk panggilan-panggilan keagamaan, kematian dan pengumuman dari aparat desa. Iqamat ki Hafid sukses meluluhlantahkan paduan suara jangkrik subuh yang biasa ricau sebelum fajar datang. Seharusnya bagi manusia normal yang telinganya belum terkena guna-guna, suara Ki Hafid ini bisa langsung menyadarkan, karena begitu keras dan lengkingannya menukik tajam. Tetapi suara Ki Hafid memang ajaib, memiliki daya magic besar yang bisa menancapkan sugesti: jika mendengar, maka tarik bantal dan tutup telinga. Kerasnya suara berbanding lurus dengan upaya untuk menutup akses suara itu masuk ke telinga, akhirnya penancapan sugesti bahwa lengkingan suara Ki Hafid dianggap irama mendayu lah yang sukses membuat warga kembali tidur. Hanya inilah yang rasional dan masuk logika untuk menelanjangi misteri suara Ki Hafid. Sampai saat ini terkadang akupun masih sama seperti kebanyakan warga lainnya, hanya saja tidurku sedikit kutekan untuk berlanjut di shaf terdepan.
Shalat didirikan. Serentak jama’ah berbaris rapih untuk siap memadu kasih pada Tuhan. Qira’at Mas Fiqly yang mirip dengan Misyari Rasyid—imam masjid di timur tengah, begitu merdu membuat surau tertunduk malu. Bahkan beberapa kali alunan lagam bacaan itu sukses membuat aku tertunduk menghayati, memejamkan mata dan mencoba mensingkronkan kondisi. Adalah satu-satunya keindahan yang luar biasa ketika tangisan pecah dan berurai ditengah shalat, karena ayat yang dibacakan mengenai siksaan dan adzab Tuhan. Sungguh, sungguh aku begitu merasa diawasi. Oh, namun itu hanya teori yang menjadi impianku selama ini. Nyatanya dalam shalat kali ini aku terjerembab masuk pada alam mimpi. Ketika sujud, aku tertinggal bacaan fatihah dan surah alqiyamah yang biasa mas Fiqly baca di raka’at kedua. Aku baru tersadar karena ki Hafid menggerakan kakinya menyentuh betisku yang sedang tersujud layu. Untung hanya ada tiga orang, untung saja! Jamaah shalat di surau ini adalah mas Fiqly sebagai imam, aku dan ki Hafid menjadi makmum setia. Usai shalat ki Hafidz menahan tawa, sungguh nyata, kusaksikan dua gigi depannya berontak minta remisi.
Aku malu. Sebagai manusia normal rasa maluku bukan terhadap Tuhan, melainkan pada ki Hafid, memang jika dipikir, aku ini begitu keterlaluan. Mukaku memerah seumpama muntahan lahar panas yang saking tak kuat menahan gelitikan dari dalam, muntah untuk menelantahkan lereng dan daratan. Ingin rasanya segera menjauh dari ki Hafid yang melantunkan wirid sambil tetap menahan tawa.
Shalat dan wirid telah usai. Sampai saat ini masih belum terjadi dialog ataupun perbincangan standar, sunyi. Dalam alunan kesyahduan bersimpuhnya hamba pada Tuhannya aku merasakan ketenangan dan tak lupa ada sedikit bumbu kantuk dan rasa malu. Mas Fiqly menoreh padaku, kupastikan ia tak tahu apa yang telah terjadi pada shalat tadi. Fokusku kini terbagi dua, memerhatikan Ki Hafid yang masih melanjutkan wirid dan menatap mata Mas Fiqly yang kini menatap mataku. Aku begitu takut, waspada mengawasi jikalau mata mas Fiqly dan ki Hafid bertemu, lantas menghasilkan simpul senyuman yang mengerikan, inilah yang bisa membuatku malu tak kepalang. Lama kuperhatikan, keduanya memang tak saling berkaitan, ya aku pastikan tidak berkaitan, karena muka mas Fiqly memang tidak menunjukan kecurigaan. Tetap datar dan kelelahan.
Mas Fiqly memang tak seperti biasanya, sedikit kusut dan terlihat lelah. Meski begitu, seperti biasa, usai berdoa ia akan tersenyum padaku dan berjabat tangan. Aku meperhatikan mas Fiqly, baru saja beberapa saat, mas Fiqly mulai bicara. Sedikit menggeser posisi duduk yang semula di mihrab menuju ujung sajadah makmum terdepan. “Dul, habis ini ada acara? Isteri mas baru saja melahirkan, Alhamdulillah laki-laki”.
Mulutku terbuka, bersiap merespon pertanyaan Mas Fiqly. Namun na’as. Belum sempat aku menjawab, ki Hafid yang semula masih mendawamkan wirid langsung nyosor membalas cepat. Kakek tua itu memang liar. Cekatan.
“Yang benar Fiq?, wah . . . selamat ya , moga anakmu menjadi kekar dan shaleh sepertimu. Ayo Dul kita jenguk putranya Fiqly!, ra ono acara kan pagi ini?” Ki Hafid yang tanpa kompromi tiba-tiba mengajakku.
Mataku menoreh cepat pada ki Hafid. Kedua mata kami bertemu. Memang hanya sekilas tatapan ki Hafid menghujam bola mataku, menyusup kejam pada pupil dan lensa, yang hampir saja membuat sobek jika aku tak segera menundukan kepala. Namun jelas, Muka keriputnya Ki Hafid perlahan mengendor, temponya sangat pelan sekali dan kemudian menyisakan ruang untuk dia tersenyum. Ia masih memendam tawa yang belum puas keluar. Aku kecewa bercampur geram, sudahlah tak ada pilihan lain, mengangguk saja untuk menghormati ajakan bicaranya tadi. Nyatanya aku masih menyisakan rasa malu pada ki Hafid. Namun sedikit beruntung, prediksi yang sebelumnya aku takutkan ternyata tidak keluar dari mulut tipis kriputnya. Ia sama sekali tak ada niatan untuk mempermalukanku di depan mas Fiqly. Aku sedikit lega.

0 Response to "sekelumit cerita subuh"

Post a Comment