Labelisasi 'hoax' yang lebay

"kebenaran hanya ada satu"
-Detective Conan

Kita telah diterpa banyak kasus pemberitaan yang saling berbantahan. Disatu sisi hal ini merupakan kemajuan dari berimbangnya informasi yang tidak dimonopoli, disatu sisi pula hal ini menjadi amat getir, karena masyarakat dunia maya mampu bersungut melebihi corong TOA. Nyaring. 

Maka marilah kembali mengingat bahwa kebohongan akan terbongkar dan pasti dimintai pertanggungjawaban, dan kebenaran akan bertengger sebagai pemersatu keterceraiberaian bagi orang yang waras dan mau menerimanya. Dan kasus Tolikara adalah sedikit kisah dibalik tragedi dunia persilatan informasi.

Pada 17 juli tempo lalu terjadi pembakaran masjid di Tolikara, Papua, dan ini fakta. Sementara itu, karena masyarakat sangat reaktif dan emosional bermunculanlah ragam stempel, ada yang over skeptis, yang terlampau lebay menghoax-kan tragedi ini, ada pula yang over opportunis yang mendukung mati-matian disertai spekulasi-spekulasi yang tak masuk akal. Padahal fakta adalah fakta, sedikit yang terjun langsung kesana, dan kita bertindak menghakimi hanya karna kita pemirsa. Inilah yang sebenarnya yang lebih mengkhawatirkan. Saat fakta dihakimi oleh spekulasi-spekulasi emosional. Sebagai contoh orang yang anti islam menganggap bahwa ini hanya tragedi salah faham, sementara yang militan Islam menganggap bahwa hal ini adalah konflik antar agama. Bagaimana seharusnya kita menanggapinya?

Terkait stempel hoax yang marak terjadi akhir-akhir ini saya berasumsi bahwa hal ini adalah hasil reaksi masyarakat yang terlampau bosan dengan kedustaan media sehingga terkonstruksilah mental over skeptis yang lebay, namun terkadang tidak berpijak pada satu kerangka dasar tentang, yang saya sebut sebagai, 'sistem media'. Para ahli stempel hoax selalu beranggapan bahwa setiap informasi adalah hantu yang harus diburu dan dipreteli satu persatu, diilmiahkan, diteliti lewat tekhnologi anu dan anu, kemudian distempeli bahwa ini hoax dan ini fakta. Sungguh mereka pekerja keras dan telaten, namun sayang, terkadang mereka bertindak diluar kerangka bahwa mereka --dan juga kita-- adalah manusia. Manusia yang punya keyakinan, manusia yang lebih nyaman condong pada salah satu ideologi tertentu, manusia yang selalu merasa waras bahwa berpihak pada sesuatu adalah keniscayaan. Maka pada saat kita berbicara sistem media, pemberitaan akan selalu condong pada keberpihakan. Sebagai contoh menjadi amat wajar jika pemilik media sekuler menyatakan bahwa ini tidak ada kaitannya dengan agama karena keyakinannya akan kesekuleran mereka. Sementara sebaliknya, media yang berlatar belakang agama akan memandang bahwa kasus ini erat kaitannyya dengan motif "walantardho ankal yahudu walan nashoro hatta tattabia millatahum."

Jika pembahasan ditinjau dari segi ini, maka tidak ada yang salah dengan beragam jenis pemberitaan yang hadir. Saya meyakini bahwa setiap media bekerja keras membumbui fakta, ya hanya sekedar membumbui saja untuk tujuan mereka. Ini logis dan sah-sah saja. Yang menjadi masalah adalah tindakan over lebay dari para ahli anti hoax yang jumawa dan phetantang phetenteng menghoaxan yang lain. Kalau dalam agama ada kaum yang rentan mengkafirkan, maka tindakan stempel hoax bisa disamakan seperti itu. Takfiri media.

0 Response to "Labelisasi 'hoax' yang lebay"

Post a Comment