Memimpikan Surga di UMKM Kita

Saya tidak begitu yakin jika UMKM akan berhasil menuai sukses manakala regulasi kita, konsensus dari hasil rapat-rapat yang menelan anggaran ratusan juta itu tidak melahirkan kebijakan untuk pengaturan ekspor dan mekaisme yang jelas dalam menghadapi pasar bebas. Pasalnya hingga hari ini neraca kebijakan masih timpang. Bukan timpang memihak pada rakyat, namun lebih pada bagaimana sektor transportasi, proyek infrastuktur, teknologi, aksesoris rumah, hingga peniti, tusuk gigi, dan mainan anak semua berlabel Cina. Jika kita berbicara pada tataran pemberitaan yang dikeluarkan pemerintah memang hal itu sedang terus digodok, dan saya tidak sedikitpun memungkiri bahwa pemerintah kita tengah bekerja keras. Namun manakala kita perhatikan kondisi sekitar, menyatu dengan masyarakat, dan berbicara pada tataran fakta, maka begitu komplekslah permasalahan. Harus diakui, para pemimpin negeri ini mungkin keliru, mungkin kurang tepat mengambil langkah, mungkin melakukan banyak kesalahan, mungkin juga tertekan, tetapi kita perlu untuk memungkinkan bahwa mereka bermaksud baik. Mungkin
mereka hanya tidak menginginkan cekcok adu mulut dengan negara lain dan melawan dominasi. Untuk hal ini, kita patut lebih keras menerima dan berpikir positif.

Saat ini saya masih melihat UMKM mirip dengan anak-anak dari ayah yang terjerat hutang kreditan motor, mereka tidak tahu kendaraan apa yang digunakan ayah mereka ketika setiap hari mengantarkannya ke sekolah. Tetapi tiba-tiba suatu hari, hingga waktu yang tak bisa diprediksi, mereka heran mengapa harus jalan kaki ke sekolah yang jaraknya sangat jauh.

Memang pahit mengatakan fakta yang sebenarnya, namun dari sini kita bisa mengatur langkah kita, merumuskan apa yang tepat. Hanya saja hal yang paling diperlukan semua elemen UMKM dalam hal ini adalah kepekan dan pengetahuan yang luas tentang kondisi kekinian. BPS tempo lalu telah mengeluarkan data kemiskinan di tahun 2014 sebesar 11,25% dan diprediksi akan meningkat sebesar 1,9 juta jiwa di tahun ini. Tentu ini bukan data yang enak untuk kita nikmati. UMKM yang saat ini masih diantarkan ke sekolah oleh kendaraaan pemerintah, suatu hari harus siap ‘jalan kaki’ jika kendaraan ditarik pihak dealer.

Mengapa hal ini terjadi? Mengapa kita seperti ini? Apakah kita terlihat bodoh? Menurut saya yang paling tepat dikatakan bahwa umur kita belum mampu menjangkau pemikiraan rumit dan detail semacam ini, kita masihlah belia. Banyak dari kita masih belum bisa mengeja apa itu inflasi, HSIG, regulasi kebijakan bahkan banyak dari kita tak tahu apa itu demokrasi, diplomasi, bahkan definisi rakyat dan negara. Kebanyakan dari kita hanya tahu kalimat ilmiah sebatas kredit, bunga bank, dan rentenir. Esai ini tentu bukan sebatas kutukan dan pengukuhan nilai dekaden, namun sekali lagi, sebagai bahan refleksi bagaimana mempersiapkan para pelaku UMKM untuk siap ‘jalan kaki’ sewaktu hal yang paling ekstreme itu terjadi.

Sampai kini saya tidak menemukan formula yang tepat untuk mengatasi kemungkinan apa yang akan terjadi di depan. Saya, seperti yang lainya, hanya menyarankan dalam kondsi yang tidak pasti ini untuk membentuk SDM yang kuat, hingga dari SDM ini membetuk segolongan komunitas yang baik, dari segelintir para pelopor ini diharapkan membentuk kekuatan yang semakin besar. Hingga sewaktu muncul kesempatan emas, kita telah siap menyambut tawaran itu.

Membangun mimpi di tengah ketidakpastian
Mau tidak mau, kemiskinan adalah suatu momok menakutkan. Atas dasar mengentaskan kemiskinan pula UMKM digalakan. Namun kembali pada apa yang menjadi pijakan --terkait peran siapa di sini-- kiranya kita harus lebih jeli mengurai. Dalam Pasal 34 poin (1) UUD 1945 telah mafhum kita ketahui bahwa:

“Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”

Negara dalam perspektif ini tidak semata-mata pemerintah. Karena negara pada dasarnya berisi masyarakat dan pemerintah, maka tugas mengentaskan kemiskinan itu juga tidak luput dari peran kita sebagai masyarakat. Namun akan menjadi naïf jika atas dasar kewajiban megambil peran, kita nekat bertempur tanpa bekal.

Salah satu pilihan yang sulit dari para pengemban tanggung jawab adalah pada saat realitas tidak pasti dan kita tak memiliki gambaran bagaimana mengambil langkah. Jika saya bisa mengajukan pertayaan pada founder father kita, Soekarno, pertayaan itu adalah: “Pak, di waktu anda yang sangat singkat merumuskan kemerdekaan, anda telah berhasil mengambil keputusan yang luar biasa. Hal ini membuat saya bertanya: apa yang terjadi dengan mimpi anda?” Ya, mimpi untuk hidup merdeka, mimpi untuk terbebas dari kemiskinan, dan mimpi-mimpi lain terkadang lebih penting, karena ia berisi harapan-harapan dan menawarkan suntikan semangat yang tentu sangat berguna.

Di masa kini, saat seminar dan training tentang mimpi menghembus bersama dengan kemegahan dan biaya yang mahal, ada seonggok masalah yang tak kunjung usai. Langkah implementasi yang tak kunjung terjadi itu ibarat monster. Namun yang menjadi lebih penting sebenarnya adalah tentang mimpi yang masuk akal. Mimpi di mana para akademis dan pelaku UMKM menyatu!. Saya menantikan mimpi pada saat bocornya jurnal ilmiah di rak-rak perpustakaan mengalir disetiap denyut nadi aktifitas UMKM, pada waktu jembatan–jembatan tanggung jawab akademisi itu tercipta; sukses melahirkan seminar, pelatihan, dan pengontrolan yang tidak hanya seremonial. Mimpi tanpa motif, mimpi yang hanya berlandaskan ketulusan. Inilah mimpi yang harus kita bangun di tengah ketidakpastian. Saat keharmonisan kaum akademis begitu manja bersatu dengan pelaku UMKM tanpa dihantui oleh itung-itungan kapital.

Permasalahan utama yang terkadang masih dimiliki para akademisi adalah rambutnya  yang mengkilap haram tertabrak angin. Pada saat teori ekonomi di universitas tidak boleh bicara permasalahan budi daya lele dan mengatasi eceng gondok yang tidak termanfaatkan. Mimpi itu adalah akurnya akademisi dengan masyarakat, dan membuminya teori ekonomi konkrit yang disederhanakan sehingga mudah difahami sampai oleh masyarakat pedalaman.

Bisa lebih jauh kita eksplorasi, sebagai misal bagaimana UMKM di pelosok desa mengetahui penerapan standar, desain, dan kualitas pada ketentuan ISO 26000 untuk green product, sementara mereka tidak pernah membaca? Bagaimana pula para akademisi meramu strategi implementasi ilmu ekonomi dalam hal  budidaya tambak lele dengan beragam kendala yang kompleks, sementara para akademisi tetap menjaga prestisnya menyentuh lumpur? Dalam hal ini saya menyarankan beberapa hal:

    1.  Hendaknya para sarjana ekonomi yang baru lulus tidak tergiur oleh lamaran kerja ke perusahaan asing. Mereka seharusnya langsung diarahkan dan disiapkan untuk membawahi 5 UMKM sejenis, menjadi penasehat, mengontrol dan membentuk kurikulum yang rinci.

    2.  UMKM yang produknya memiliki kemiripan disatukan membentuk UMKM induk berbadan usaha dan legal, yang dipimpin oleh seorang sarjana yang kapabel.

    3.  Anak dari UMKM induk dalam mekanisme kerjanya memiliki kewenangan, namun atas dasar persetujuan dan arahan seorang pimpinan.

Mengapa hal ini mesti dilakukan? Potensi sarjana kita --jika memang benar seperti apa yang dikeluarkan OECD di tahun 2012 dan terlepas dari kapasitasnya sebagai sarjana-- diprediksi tahun 2020 akan berada di urutan ke 5 dunia (merdeka.com). Tentu ini potensi yang tidak main-main, manakala kita kolaborasikan dengan  jumlah UKM yang mencapai lebih dari 5,6 juta unit dampaknya pun tidak main-main. Inilah yang kemudian saya sebut teknik mengkloning dua mental untuk membentuk DNA baru yang unggul.

Sebagai landasan teori, saya hanya teringat apa yang pernah ayah saya katakan pada saat mengintervensi pembicaraan saya bersama kawan. Permasalahan tidak akan pernah selesai sewaktu mitos “semua itu kembali pada diri sendiri” berpijak tanpa pengetahuan/keilmuan. Sama halnya jika UMKM disuruh menyelesaikan permasaahannya sendiri tanpa mengetahui bagaimana ilmunya bisa dipastikan permasalahan tidak akan pernah tuntas. Sehingga mimpi kita di tengah ketidakpastian ini begitu jelas, yaitu bagaimana kita mebentuk kultur mimpi akademis yang masuk akal dengan cara menyatukan akademisi dengan pelaku UMKM.

Mengapa saya teralu ngotot dengan hal ini? Kalau kita bicara struktur masyarakat, mendiang Antonio Gramsci telah membaginya dengan rinci, begitupun dengan Noam Chomsky. Dalam sebuah negara hanya akan muncul dua kelas masyarakat; pertama, masyarakat sipil yang terbetuk dari afilasi-afilasi sukarela yang ia hanya hidup, berkumpul, dan bekerja secara pasif menerima arahan, kedua, masyarakat politis yang terbentuk atas kepentingan yang sama dan dalam aktifitasnya melakuan pekerjaan berpikir. Namun yang lebih mengerikan di sini adalah pada saat kelas masyarakat politis bekerja sendiri dan kelas masyarakat sipil dikebiri. Di sinilah pentingya kita membentuk DNA baru hasil kloning antara dua jenis masyarakat; pelaku UMKM dan akademisi. Meskipun pada pembahasan lebih lanjut, kaum akademisi tidak selalu dikatakan masyarakat politis, tapi pada dasarnya mereka teah memiliki modal dasar untk melakukan pekerjaan berpikir.
Maka dari poin ini sesungguhnya titik utama terletak bukan pada membangun SDM, namun lebih pada bagaimana menyatukan SDM yang telah ada. Bukan hal mudah membangun mimpi di tengah ketidakpastian masyarakat untuk rajin membaca, dan di tengah ketidakpastian sarjana mendapat kerja.

Jadi, mengapa kita tidak satukan saja?


Meruntuhkan Bangunan Lama, Membangun Surga Baru
Satu-satunya rahasia besar dalam perubahan ekonomi adalah tidak pernah ada rahasia. Secara prinsip, orang harus sudah menyadari bahwa perubahan selalu harus ditebus dengan pengorbanan. Dan kalau berbicara tentang perubahan ekonomi, setiap orang seharusnya sudah mampu memberikan kedudukan bahwa ilmu ekonomi merupakan bagian dari social scienties, yang hakikatnya tidak bebas nilai. Ia terbentuk atas pengaruh-pengaruh dari ideologi tertentu. Sehingga sangat wajar jika dalam mendefinisikan kesejahteraan dan keadilan –yang merupakan kajian inti dari sistem ekonomi— akan memiiki jawaban yang berbeda, tergantung menurut nilai apa ia menjawabnya. Maka saat ini pengorbanan terbesar adalah mampukah kita merelakan diri untuk membentuk sumber daya manusia yang mampu berkorban untuk merumuskan nilai baru?.

Kondisi faktual, saat pembahasan UMKM --yang hanya secuil bahasan dari sistem ekonomi-- diserahan pada mekanisme kapitalisme, saya sedikit ragu untuk optimis. Pasalnya teori ekonomi dua kaki antara produksi dan rumah tangga yang diprakarsai oleh Adam Smith saat ini telah melahirkan kecamuk. Inflasi yang menjadi permasalahan utama dari keberlanjutan UMKM disebabkan karena saat ini perekonomian di sektor riil lebih kecil dibanding pada sektor non riil. Ini akan terus menjadi lingkaran setan yang tak berujung manakala tidak segera dirumuskan solusi alternatifnya.

Terlepas dari luasnya pendokumentasian atas kerapuhan bangunan kapitalisme, saya hanya menyarankan bahwa membentuk Sumber Daya Manusia yang berani menguasai pemahaman tentang sistem ekonomi ini adalah solusi paripurna. Secara kerangka dasar tantangan dari berjalannya mekanisme ekonomi didasari dari konsep suatu sistem dalam memandang kepemilikan. Kapitalisme yang menghalalkan semua jenis usaha untuk dibebaskan pada mekanise pasar, saat ini telah menimbulkan polemik. Pemberitaan mengejutkan terjadi bulan april 2015 lalu. Beberapa BUMN seperti Wijaya Karya dan Adhi Karya yang akan diprivatisasi harusnya memberikan tamparan, bisa jadi ke depan nasib UMKM kontrolnya akan juga berada di bawah asing. Sedangkan berkaca dari sejarah, teori ekonomi sosialisme juga bukan solusi alternatif, ia menyerahkan konsep kepemilikan secara total pada negara, yang terjadi memang sosialisme menawarkan kesetaraan, namun jangan harap akan mendapatkan kesejahteraan.

Nampaknya saya terlalu muluk menawarkan solusi pembentukan Sumber Daya Manusia, namun ini akan terlihat logis manakala kita membagi secara analitis dan rinci konsep kepemilikan yang ideal; mana yang boleh dimiliki oleh individu dan diserahkan total pada pasar, mana yang hanya boleh dikuasai oleh negara, dan mana yang milik umum (negara dan individu). Konsep ini yang tidak dimiliki sistem ekonomi saat ini, sehingga belum mampu menjawab dua pertanyaan utama dari kajian ekonomi, yaitu kesejahteraan dan keadilan. Inilah sesungguhnya yang ditawarkan oleh sistem ekonomi Islam. Apa sesungguhnya dampak nyata bagi keberlangsungan UMKM? Tentu saja teciptanya kultur yang ideal yang aman dari ketidakpastian dan cenderung akan dinamis.

Pada titik yang paling ekstrim, saat kultur ekonomi dunia rentan mengalami gejolak, dan pada saat keran pasar bebas mulai dinyalakan, tantangan inilah sejatinya yang wajib menjadi fokus kita. Sehingga seharusnya beragam teori yang sifatnya hanya mengatasi standar operasional dan prosedural UMKM  harus gugur dari bahasan pokok. Mengapa? Sesungguhnya ini adalah pertaruhan tetang nasib UMKM, apakah ia akan masih ada ataukah hilang ditelan rimba.

Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa membangun surga di UMKM adalah suatu hal yang niscaya, manakala kita berani menyiapkan langkah perubahan. Tentu menyiapkan Sumber Daya Manusia yang memiliki pandangan luas dan kritis untuk masuk dan mendominasi di kancah pertarungan global adalah hal yang harus pertama kali dilakukaan. Dengan teknik mengkloning kaum akademisi dan pelaku UMKM merupakan salah satu pilihan yang diharapkan akan menghasilkan DNA yang unggul.  DNA yang terlahir dari hasil kloning ini dalam beraktifitas tidak hanya terfokus bagaimana meningkatkan produksi meraih laba tinggi. Pembicaraan tentang sistem pembatasan sektor usaha merupakan hal yang tak bisa terelakkan. Karena surga itu tidak hanya terletak pada produksi, namun juga sewaktu kita mahir berbagi dan menempatkan diri.

Sesungguhnya solusi telah banyak tergulir, tinggal apakah kita berani mengambil atau tidak? Ya, kurang lebih selalu seperti itu.
Wallahu a’lam.

0 Response to "Memimpikan Surga di UMKM Kita"

Post a Comment