Pernahkah kita benar-benar belajar
dari keadaan yang telah menimpa kita? Rasa-rasanya jarang sekali suatu hal yang
telah menimpa kita menjadi pijakan untuk direnungi dan lebih dalam diresapi,
sehingga menimbulkan decak kagum yang luar biasa bahwa ajaibnya kuasa Allah tak
terbatas dan tak bisa dikira-kira.
Termasuk di dalamnya sepercik kisah
hidup seorang manusia muda yang mulai berkeluarga, melahirkan banyak anak,
menjalani masa-masa pedih dan ketir, beranjak naik dan tegar, dari gaji hanya
cukup membereskan isi perut dan mulut istri kemudian membuat senyuman
orang-orang di sekeliling, melahirkan banyak air mata yang menyejukkan dan satu
kesimpulan; bahwa syukur adalah satu-satunya pilihan. Namun ini bukan tentang
materi dan kekayaan, hanya sebuah perjalanan hidup yang lelah, namun Alhamdulillah bisa melahirkan ibrah.
***
Kehidupan bergejolak riuh, gejolaknya
telah menyebabkan cerita dari sebuah rumah sederhana cukup berbeda. Dari rumah
sederhana itu ternyata tanpa banyak diketahui media telah terlahir dua belas anak
dari satu rahim ibu, menyalahi aturan KB, bereksplorasi dengan
ketakutan-ketakutan hidup, menerjang bahaya ekonomi yang dikata orang begitu
menyeramkan, menyebabkan ketakutan-ketakutan masa depan, membuat resah orang
yang memikirkannya, dan akhirnya hal ini malah meretas semua premis-premis tak
sangkil itu, mematahkannya dengan pembuktian waktu, membuktikan bahwa kuasa
Allah benar-benar ada dan ajaib!.
Sungguh tidak terbayang sebelumnya olehku,
bahwa hidup ternyata begitu sunyi dan menentramkan, ya, bagi orang-orang yang yakin
dan percaya ia akan baik di bawah kendali Allah swt.. pada faktanya kehidupan
memang tidak main-main bersenda-gurau, mencandai manusia-manusia untuk tetap
respek terhadap candaannya dan fokus pada tujuan hidupnya. Lalu apa yang patut
dibicarakan? Ah, aku tak yakin ini adalah pembicaraan berguna,malah aku berdoa
ini bukanlah lahwal hadits,
pembicaraan yang sia-sia dan tidak melahirkan manfaat apa-apa.
Aku tak benar-benar yakin bahwa yang
aku bicarakan adalah hal-hal besar yang luar biasa, menyanyat hati dan
melahirkan banyak simpati, melahirkan decak kagum dan tepuk tangan. Yang aku
bicarakan ini hanya pembicaraan sederhana bahwa satu biji telur pernah di
potong menjadi empat bagian untuk makan empat anak yang masih tersisa di rumah.
Sewaktu kecil aku tak mengerti apa
pun, bahkan tentang selera makanan, manjaan, dan apa-apa yang dikata enak. Aku
hanya menceritakan bahwa aku anak ke tujuh, dan bahwa nafsu makanku waktu kecil
tak bermasalah, bahkan tak perlu dopping curcuma, obat cacing, atau apa pun. Hanya
saja saat ini cerita-cerita itu menjadi lamunan, bahwa dulu pernah hanya ada
ikan teri dan sambal goreng saja yang tersedia di meja. Bahwa dulu pernah
terjadi perbincangan yang aku dengar tentang beras untuk makan besok tak ada. Bahwa
dulu pernah aku ingat betul gurat wajah bingung namun tetap tegar dari sang
bapak untuk mengusulkan mengganti beras yang merangkak naik itu dengan ubi
saja. Bahwa dulu aku sering menyaksikan naluriahnya desakan istri pada suami
tentang kerapihan isi perut.
Dari semua yang aku alami membuatku tak
perlu jauh untuk bermimpi, bahkan hingga saat ini aku tak pernah benar-benar
punya mimpi yang benar-benar mimpi seperti kebanyakan kawan. Karena aku begitu kagum
merasakan bahwa tak punya mimpi pun kita masih bisa hidup. Kiranya sangat tak
begitu perlu lagi untuk berbicara kecukupan hidup, kelimpahan harta, dan
banyaknya nafsu yang telah kita penuhi. Bahkan kiranya sangat tak perlu lagi
untuk berambisi dan terobsesi penghasilan, posisi kerja, dan gelar. Karena
memang perjalanan hidup telah begitu menampar mukaku bahwa segala kecemasan
akan sirna, segala ketakutan akan hilang, dengan satu jaminan, janji Allah yang
akan memeluk hamba-hambanya yang percaya.
Yang aku resahkan hanya sedikit saja
bahwa semua yang telah aku alami ini ditakutkan tidak melahirkan pelajaran yang
berarti bahwa nyali besar untuk bergantung penuh pada Allah swt. itu adalah
sebaik-baiknya pilihan. Bahwa nyali adalah posisi yang bisa membuat kita
menari, mencandai hidup, dan tetap bersyukur pada Allah swt..
Namun mengapa rasa takut dan cemas
itu masih hinggap? Apakah kita sedang mengidap sebuah penyakit kronis? Penyakit
gila nomor pertama, penyakit gila yang lebih gila dari gila? Yaitu lupa keberadaan
kita dan tujuan hidup kita, lupa perkara-perkara apa yang melandasai
berjalannya hidup, hingga lupa siapa yang menciptakan landasan-landasan itu. Bukankah
dari situ kita begitu pecundang hanya untuk melangkah saja?
Haruskah kita takut terhadap
kehidupan? Tidak perlu! Labuhkanlah ketakutan itu jikalau nanti sang pemilik
kehidupan tidak meridhoi kita untuk hidup.
0 Response to "Si ke tujuh dari Dua belas"
Post a Comment