Sudah lama sekali manusia menghuni
bumi. Setetes demi setetes butiran kehidupan terus menetes, membuat genangan,
membuat danau, hingga samudra. Dan manusia terus tumbuh, berbudaya, berpolitik,
beranak pinak, membentuk bangsa. Dari bentuk pakem kebangsaan manusia mulai
mengatur dirinya, memosisikan siapa yang harus memimpin, siapa yang mesti
dipimpin, termasuk siapa yang mesti membuat peraturan dan siapa yang mesti
diatur dan dibereskan. Ini berjalan terlihat begitu wajar dalam rentang waktu
yang cukup panjang.
Mau tidak mau, manusia yang tak paham
asal usul akan ikut mengekor, membuntut ibarat itik, disiplin dan taat, patuh
untuk dikata bermartabat, dan memasrahkan segalanya—termasuk nasib, mimpi, dan
berkeyakinan— semua disesuaikan dengan kondisi yang ada. Fleksibilitas menjadi
perlu, dan modernitas menjadi penting. Hingga pangkalnya kesadaran untuk
ditempiling tidak lagi dianggap sinting, hanya sebagai cobaan kehidupan yang
berbulir-bulir dan berliku itu.
Jika dipikir memang ini semua tak
masuk akal, bagaimana bisa pertanyaan mendasar dikata sudah terjawab dan tak
penting ditanyakan lagi oleh masyarakat banyak? Pertanyaan-pertanyaan semodel “apakah
manusia dalam berbangsa bisa maju dengan vonisan nasib yang mereka tentukan
sendiri secara penuh?” atau “apakah manusia memang sudah tahu tentang dirinya
sendiri?”.
Dan pertanyaan itu seolah kandas
dengan hiruk pikuk kehidupan yang sibuk dan berasap. Koridor-koridor tempat
manusia melintas dan mencari nafkah, telah membuat lupa bahwa merapikan isi
perut tidak semena-mena bisa dilakukan dengan kerja, kerja, dan kerja. Ada
aspek lain yang sudah harus selesai sebelum manusia memulai. “apakah manusia
memang benar-benar tahu segala hal tentang dirinya, sehingga ia berhak berbuat
seenak udel dalam menggantungkan mimpi, motivasi, dan geraknya?”. Bagaimana
bisa manusia menjawab berapa jumlah rambut yang menempel di kepalanya? Berapa
besar kadar oksigen yang dihirup hidung untuk tetap memompa paru-parunya? Berapa
panjang urat nadi yang tersemat di tubuhnya? Berapa besar diameter selang
dikerongkongannya? Dan pertanyaan lain yang tidak selesai terjawab untuk sampai
pada simpulan bahwa manusia mampu mengatur dirinya sendiri.
Namun bagaimana pun, bulir-bulir
kehidupan terus merangsek turun, lewat dahi dan ketiak yang terus bergerak, ia
tidak sedikit pun peduli dengan pertanyaan yang katanya cetek dan tak guna. Dan
manusia hanya bisa kerja, kerja, dan kerja. Menikmati silaunya butiran itu, menghirup
dalam-dalam aroma butiran itu, menyelami makna-makna yang akan didapat dengan
tidak perlu memikirkan apa yang sebelumnya kita bersama tanyakan.
Dan kau tahu? Ternyata memang benar, kerja
itu telah melahirkan sebuah peradaban, dari kerja itu pula telah menelurkan
hasil yang luar biasa; gedung menjulang, dagangan laris manis, dompet tebal,
bensin penuh, anak-istri aman, dan giliran bertanya ulang “apa makna hidup?”
mereka bilang kerja, kerja, dan kerja. Dan memang benar sekali, kerja itu telah
melahirkan kecepatan gerakan, saklek dalam memutuskan, disiplin, tangguh, ulet,
dan giliran bertanya “apa makna hidup?” mereka cukup bilang kerja, kerja,
kerja. Dan benar memang, dari kerja mereka telah membuat satu kesepakatan
tentang standar sukses, sehingga mereka berjalan dengan standar yang dibuatnya
itu, bersemangat dan bergairah, berkeringat hingga ke ranjang untuk istirahat,
namun giliran bertanya “apa makna hidup?” mereka hanya menjawab lelah; kerja,
kerja, dan kerja (kali ini dengan titik penegasan, lirih).
Apakah tidak ada yang aneh dari semua
ini? Kehidupan yang dibuat cembung oleh para pekerja hidup perlukah untuk kita
recoki? Perlukah untuk kita tanya-tanya, di uwel-uwel, hingga lecek dan bernanah?
Lalu jika tidak perlu, apakah kerja, kerja, dan kerja sebuah solusi? Ah, atau
malah masalah?
Aku hanya takut, dan hal ini
mengingatkanku ketika tempo hari seorang pemuda telah begitu lelah dengan
kerja, kerja, dan kerja, lalu mengakhiri hidupnya di selangkangan kerbau yang
didepannya ada srigala, tertawa. Dan kau tahu? Serigala itu juga berpikir sama:
bahwa ia sedang kerja, lalu memangsa, merobek perut si pemuda, mengeluarkan jantungnya,
melahapnya, mengeluarkan ususnya, memakannya, mengeluarkan paru-parunya, lalu
lahap dimakannya, hingga tulang iga, jari-jari kaki dan tangan, bola mata dan
hidung, betis dan dengkul, dijilatinya, dikunyahnya, habis ditelannya. Semua
darah si pemuda di sruput mantap, hingga si srigala sampai bagian otak dan batok
kepala, kemudia terdiam lama.
“ah, aku tak minat, otaknya masih bersih,
ini tanda tak pernah dipakai, sungguh merugi jika aku melahapnya juga, takut
terturar bodohnya” lalu berbalik hanya meninggalkan otak yang terselip di
selangkangan kerbau itu.
Namun kerja, kerja, dan kerja telah
mudah menyangkalnya, bahwa si srigala tidak semata-mata enggan melahap karena
otak yang goblok tak karuan, kemudian manusia kerja mulai melakukan pertemuan,
intens mengadakan meeting, ya, untuk membahas bahwa si srigala salah. Jika ada yang bertanya pada mereka, “apa
gunanya pertemuan ini?” mereka membusungkan dada, “kita sedang kerja, kerja,
dan kerja”.
Begitulah singkat cerita, begitulah
kehidupan berjalan, dan aku melaporkan dari malam, menuju tumbangnya badan
untuk istirahat melepas kerja, kerja, dan kerja.
0 Response to "Antitesis kerja, kerja dan kerja"
Post a Comment