Saya senang dengan teknik berpusi, alah satunya teknik penuturan polisidenton. Akibatnya yang terjadi saya menggunakan dalam mendefinisikan kondisi terkini pemuda, berbunyi: generasi muda sedang menuju ketidak mengertian, menuju kebingungan, menuju
ketertipuan, menuju kebodohan, hingga muaranya adalah mereka benar-benar tersesat.
Awalnya ia tertipu oleh konsep hidup yang simple dan sederhana, tertipu oleh
mainstreamnya gerakan teman sebaya, tertipu oleh iklan, lalu tertipu, dan
tertipu, akhirnya ia malah gayeng dalam pelacuran konsep yang gamang. Seperti
kita lihat belakangan, banyak tongkrongan yang berisi ketidakmatangan dan membuang
banyak waktu, membuang banyak agenda, membuang banyak kesempatan, membuang
banyak beban, akhirnya pemuda menjadi sampah peradaban.
Soal
pemaknaan dan konsep hidup memang tidak main-main. Terbukti ada banyak
kegagalan pemuda dalam mengambil tidakan yang berujung kengerian. Coba saja dibayangkan,
menurut Linda Teplin, dari Nortwesterin University
Feinberg Medicine - Amerika Serikat, “Angka
kematian remaja nakal berusia 15-19 tahun, hampir dua kali lipat dari pasukan
yang bertempur di Irak dan Afganistan”.
Ada
kernyitan dahi yang begitu kentara, lalu dengan refleks terlontar kalimat bijak
yang sederhana: “Sinting!”. Ini semua begitu di luar dugaan, pemuda dengan perasaan
tak sadar telah menenggerkan posisinya dalam kekelaman. Jika bicara phobia,
tidak terlalu memaksakan jika saya katakan bahwa ini bentuk dari ‘phobiamania’. Sebuah istilah yang tidak
akan ditemui karena ketidaksampaian hati menggambarkan kengerian luar biasa, yaitu
suatu kondisi kengerian terhadap situasi, di mana chaos rohaniah zaman akan dipecahkan oleh (hanya) remaja mandul dan
impoten akan pemaknaan. Kita bisa merasakan bahwa hal ini begitu menampar; pemuda
masih hidup sebagai manusia, namun aborsi, persetubuhan illegal, tawuran antar
gank motor, penjambretan, rebutan pacar, lahapan pil setan, suntikan, dan juga
tenggakan minuman setiap harinya diciptakan.
Saya
hanya heran saja, seperti herannya semua yang waras tentang ‘phobiamania’ ini. Mengapa bisa terjadi kemandulan
sebuah generasi yang jika dibayangkan terlalu sukar terobati, jumud dan menuju kesemrawutan,
kemudian istilah ini jika dibawa pada ranah pendefinisian ilmiah disebut dengan
distopia, yaitu suatu penggambaran akan
masa depan yang begitu menyeramkan. Padahal kita telah banyak belajar sejarah
dari peradaban-peradaban binasa yang disebabkan kecerobohan manusia. Literatur
bertebaran di mana-mana, bisa kita sapa dalam satu ketikan kata di search engine. Dan lalu mengapa? Ada
apa? Bagaimana?
Saya
hanya menyangka, mungkin saja kita terlalu terlena dan senantiasa dihantui oleh
premis akumulasi kapital dalam menjalani hidup. Ya. Pemaknaan hidup yang hanya hitung-hitungan
njelimet tentang terpenuhinya hasrat
berkuasa, perut, dan kelamin. Kita disibukkan oleh kejar-kejaran, persaingan, saling
mengungguli, dan menanggalkan pentingnya pemaknaan akan tujuan hidup secara
mantap dan mendasar. Kita telah banyak menemukan anak-anak yang menjadi korban
karena dididik orang tua untuk menjadi pribadi matre. Dalam soal impian sering
secara tidak sadar mengarah pada nilai-nilai yang hanya sebatas materi, sebuah
kewajaran namun berbahaya. Karena dari pola semacam ini terbentuklah pola hidup
pribadi-pribadi ambisius namun tak peduli mana yang baik dan mana yang tidak
baik.
Dalam
satu kasus kita berbicara seorang anak, seorang anak yang pulang dari belajar dengan
bangganya menenteng potongan kepala manusia, segepok uang, dan sekoran berita
propaganda. Ia mendapatkannya dengan percuma. Lalu bercerita:
“Potongan kepala ini bukti bahwa
hidup adalah persoalan bersaing dan mengalahkan, gepokan uang adalah bukti
bahwa tujuan dan kebahagiaan itu adalah materi, dan Koran-koran berisi berita
propaganda adalah urgensi dari penyamarataan gagasan manusia yang harus
disamakan tujuannya menjadi kesenangan materi semata. Jika untuk menyamakan
gagasan tidak bisa dengan informasi berita propaganda, maka gunakanlah uang
atau potonglah satu kepala manusia untuk dipajang mengancam.”
Inilah
perumpamaan sastra yang tidak biasa, penjelasan yang begitu membingungkan, tapi
lupakanlah… saya hanya ingin berkata saja bahwa penjelasan di atas maknanya
adalah segeralah tinggalkan apa yang ada dalam pikiran tentang konsep kebahagaian
yang bersandar pada nilai-nilai materi. Hembuskanlah beberapa kali nafas
panjang, renungkanlah, dan mari revolusi.
Kita
sadar sekali bahwa saat ini kita sedang memulainya dari kesintingan sistemik
dan kekacauan fungsional, maksud saya adalah saat ini phobiamania terbesar bermula dari kesintingan yang disebabkan oleh sistem
hidup juga ditambah oleh kekacauan pola pikir manusianya. Kita saat ini
dihadapkan pada kepecundangan besar bahwa revolusi itu tidak lagi perlu dan
tidak penting. Kita dibodohi oleh ketakutan yang begitu luar biasa tentang
revolusi; darah, air mata, kelaparan, dan mayat. Sehingga untuk (hanya)
berpikir beda pun kita tak berani. Lantas keseriusan kita menanggapi observasi
besar Vico dalam Edward Said: 1978, kiranya penting kita garis bawahi, bahwa “manusia sendirilah yang membuat sejarah
mereka, bahwa apa yang mereka bisa ketahui adalah apa yang telah mereka perbuat.”
Maka mengukir sejarah baru demi menghilangkan phobiamania yang terbesar adalah bagian dari kehidupan itu sendiri.
Kemudian
menjadi sangat jelas bagi kita bahwa emphasis
nilai seorang pemuda bukan terletak pada ketakutan yang diciptakan pihak lain,
namun pada keberanian dalam keberpihakannya pada kebenaran. Inilah solusi
tuntas phobia terbesar, soal mental dan kekuatan pemikiran.
Semarang, 3 Oktober 2014
0 Response to "PHOBIAMANIA, TENTANG PENGEMASAN DISTOPIA BANGSA"
Post a Comment