Menteknik-puisikan Demokrasi

Seperti polisindeton, demokrasi telah membawa kita menuju sesat pikir, menuju sesat tindakan, menuju sesat hasil, hingga muaranya adalah kesesatan bahwa manusia telah benar-benar sesat. Dari yang semula biasa menjadi sedikit aneh, menjadi aneh,menjadi sangat aneh, dan akhirnya benar sinting. Seperti yang kita lihat tadi malam; sekelompok buruh yang berlaku juragan begitu kekanak-kanakan dan (maaf) ASU tenan!

Atau kita dramatisir saja. Jika dalam cerita, begini alurnya: Bapak ketua baru pulang dari Amerika, membawa sepotong kepala manusia. Bapak ketua pulang ke desa sambil juga membawa segepok uang dan sekoran berita. Potongan kepala, gepokan uang, dan koran diramunya menjadi Demokrasi, hingga kita yang memerhatikan tingkahnya nampak lelah dan muntah-muntah. Semua isi perut rontok berhamburan ke lantai hingga halaman depan.

Dan saat ini ketika Demokrasi hidup 'phetangtang-phetengteng', kita selalu tahu bahwa ini hanya dibutuhkan manusia yang (maaf) tolol dan tidak cerdas. Begitu ceritanya!

Cerita yang dramatis ini begitu mengenang dalam lamunan, membuatnya kekar, dan mengakar. lalu Anadiplosis bertutur bahwa demokrasi membuat onar, onar membuat masalah, masalah membuat voting, voting membuat sinting.

Kita melamun, lalu dilanjut bersajak dari kesintingan: demokrasi jadi sinting, sinting jadi voting, voting jadi pemilu, pemilu jadi penipu, penipu jadi pembual, pembual jadi penolong, penolong jadi pemberi, pemberi jadi pemaaf, pemaaf jadi bagus akhlak, bagus akhlak jadi taqwa. Ah, demokrasi menjadi takwa... takwa yang landasannya kesintingan, bukan?

Semarang, 2 Oktober 2014

0 Response to "Menteknik-puisikan Demokrasi"

Post a Comment