Merindu Candu Baru

Dalam kondisiku yang mabuk, pernah dalam hati aku mengutuk Tuhan, mengapa menurunkanku di bumi yang kacau, sambil aku mengobati diri dengan terus teriak bahwa aku hidup di negeri merdeka.

Dalam kondisiku yang masih mabuk, aku berumpama dan lebih jauh berfantasi tentang nasib negeri yang menyikapi semboyan "lebih baik mati di medan perang, daripada hidup dalam kegelapan"  dengan analogi seorang dungu yang berjalan ke toko emas untuk membeli kotoran.

Namun apa daya, jangan tanyakan makna, otaku hanya bisa bekerja sedikit, semakin berpikir semakin sakit. Maklumilah, aroma arak yang semerbak terus melantunkan kidung sinting, membuatku memutar-mutar dan kalut, hinggalah tiba tenggakan terakhir yang menagih yang lebih terakhir. Bukan aku yang inginkan mabuk. 

Candu yang sebenarnya tak pernah aku mau, berbicara dengan nada perintah dengan moncong senapan yang disodorkan ke wajah.
Candu yang sebenarnya aku benci, mencambukku dengan paksa untuk bersama-sama menikmati, minimal menghirup aroma atau tegukan yang seperlima cangkir saja, katanya.
Hingga akhirnya aku bersama-sama melihat dunia ini dengan mata juling. Kondisi tak sadar terus menggelayut dalam mata merah yang sebenarnya rindu kebaikkan.
Hingga akhirnya tak sadar aku bersama mereka menggali kuburan besar dan memerintah orang di atas untuk menenggelamkan masal.

Aku berbicara dalam kondisi sakau yang terus menginginkan lebih banyak candu. Bukan karena aku ingin mabuk, ini karena aku hidup di negeri yang dipimpin mafia sinting. 

Tapi cukuplah, Aku tidak ingin bicara lebih jauh tentang negeri dan pemimpin, aku ingin berbisik tentang kita saja. Kita yang pernah sebentar menepi di pinggir danau yang tenang, kemudian terbelalak bahwa selama ini kita mabuk berat. Kita saling berpegangan erat, saling menatap dengan mata berbinar. Kita menangis sangat lama dan berteriak sejadi-jadinya... Kau ingat sayang?

Kesadaran kita yang sangat singkat itu menghasilkan pengamatan yang lebih jernih bahwa pada awalnya konsep pendidikan yang diajarkan, dibuat para orang bijak, namun karena pemabuk lebih dominan, si bijak juga ikut keranjingan. 

Kesadaran kita yang sangat singkat itu membuahkan analisa bahwa teori ekonomi yang dipakai awalnya disebarkan oleh para ekonom baik, namun karena pemabuk lebih dominan, ekonom itu juga ikut kecanduan.

Kesadaran kita yang sangat singkat itu kembali mengingat-ngingat struktur sosial yang dulunya tentram, namun lagi-lagi karena pemabuk lebih dominan, yang tenang itu sekarang luluh lantah dan bringsatan.

Kesadaran kita yang sangat singkat itu menyimpulkan bahwa kerusakan ini berlandaskan sesuatu yang besar, sesuatu yang mencokol dan fundamen, yang harus dirubah secepat mungkin karena keterdesakan dan kewajiban dari dzat yang maha menciptakan.

Dalam pertemuan singkat yang sadar itu, lalu kau berbisik padaku dengan manja merayu dan meletup-letup,
"terlalu lama kita terdiam". Katamu.
Aku tahu! dan itu juga yang ingin kukatakan padamu, disaat berbagai macam kebijakan menghembuskan api ke awang-awang dan debunya menghasilkan ketidak beresan. Yang kita lihat selalu saja debu yang menghembus itu, debu yang jatuh dan kita hakimi bahwa debu ini sumber masalah. Padahal tubuh kita yang kepanasan, keringat kita yang muncul dari kegerahan, dan nafas yang tersedak, terhimpit emosi jutaan manusia frustrasi ini adalah bukan semata karena debu. Lebih jauhnya tak berani kukatakan bahwa setiap komponen masyarakat tidak sadar akan adanya api. Aku tahu mereka hafal, karena kulihat banyak cendekiawan yang bertambah seiring bergantinya masa, tapi sungguh aku tak mengerti mengapa kegilaan ini masih saja ditutupi. Bukankah begitu manisku?

Aku rindu saat-saat sadar itu, dan dalam mabuk ini aku pun masih tetap merindu candu yang lain, candu yang kita bicarakan lewat bisikan kesepian, candu yang mampu menenangkan hati dan memuaskan akal. Apa kau juga masih ingat kasih?

Sejak pertemuan kesadaran dalam mimpi itu, aku ingin sekali menyampaikan pesan padamu sayang,
Kau mau berontak, berontaklah.

Kau mau mengutuk, mengutuklah.

Kau mau demontrasi, demonstrasilah.Kau mau bermakar, dan berdialog sepanjang malam tentang perubahan, lakukanlah!

Jangan sampai kau lupa bahwa lebih terhormat mati di medan perang, daripada hidup dalam kegelapan 

Tapi tetaplah ingat manisku, pertemuan kita yang singkat itu.Sebuah pertemuan sadar yang merindu candu baru.



0 Response to "Merindu Candu Baru"

Post a Comment