Di depan mayat

Tibalah memimpikan kematian, ketika hidup hanya menjadi fragmen dari teks fiksi utuh yang menggantung, terhenti di tengah, tak selesai. Aku memperhatikan, menerka, membaca, dan sesekali menghirup dalam sekali bangkai-bangkai mimpi yang berjatuhan dari gantungan. Mulanya bagus sekali, hingga sampai pada suatu ketika yang tidak diinginkan, mereka jatuh berguguran, tidak seperti bunga sakura yang jatuhnya pelan-pelan, penuh keeksotisan. Beberapa mimpi jatuh menghentak bumi, tertanam dan bergelinjangan penuh belatung jalang.

Aku adalah hamba Allah yang menggantungkan mimpi seperti yang lainnya. Pada batas kulit kening yang jarang sekali disujudkan, di dalamnya, otakku bekerja untuk mencerna apa yang menjadi keinginan. Aku seperti yang lain dalam menggantungkan impian, penuh ambisi memiliki, bersemangat untuk menjadi, dan bersaing untuk unggul dan mendapat pujian. Namun belum lama ini aku menepak punggung sendiri dan bertanya, Untuk apa semua ini?
Tiba-tiba semua rencana buyar. Karena. . . 

Hari ini, meski hari kemarin juga sama seperti ini, setidaknya sedikit ada yang baru dari perjalanan hidupku. Lepas ashar di mushola, ketika akan beranjak pergi, tiba-tiba segerombolan orang datang membopong sesuatu, ramai. Kemudian berbaris cepat, sedikit ada pembicaraan, allahuakbar,  takbir pertama dilakukan. Aku tengah berdiri di depan mayat untuk solat.

Mencuri pandang dari barisan depan, kelihatannya yang berbaring di depan masih kanak-kanak. Siapanya yang ada di balik kain, aku tak tahu. Aku berdiri di depannya, di depan mayat yang bagiku terlalu dini untuk berakhir dari perjalanan hidup yang semestinya seukuran nenek Lia. Percayalah, aku berdiri di depan mayat.

Lembutnya peralihan. 
Di depan mayat, obsesiku tentang hidup menghilang. Terkucek, mengeruh dan melebur satu dalam empat takbir. Pandanganku lekat pada mayat, tiba-tiba saja salam. Shalat usai.

Di depan mayat, aku membayangkan bagaimana bisa aku membuat khayalan-khayalan baru tentang gejolak hidup sementara di depanku ada sosok yang hilang nyawa jauh lebih muda dariku. Kematian memutar mengitari dengan kemungkinan jauh lebih besar dibanding tercapainya semua keinginan hidup yang terus bergejolak.

Di depan mayat yang masih belia itu, aku bertanya pada mataku, aku bertanya pada otakku, aku bertanya pada dada, ketiak, nafsu, bahkan selangkangan, kelamin, dan aksesoris yang melekat ditubuh ini, "Kau hidup untuk apa?", "kau hidup untuk siapa?" hingga pertanyaan menyambung pada "man rabbuka?" dan aku takut malaikat munkar nakir bertanya tidak ramah nantinya.





0 Response to "Di depan mayat"

Post a Comment