Dikarenakan
tekanan aku dipaksa berbuat (menulis, bicara, membaca, dll) sesuatu yang benar
dan berisi. Kondisi dalam ancaman lah yang membuatnya tiba-tiba saja datang
mengagetkan, dengan menggebrak-gebrak supaya gerak cepat. Ketika kucoba
klarifikasi katanya semua ini perihal
optimalisasi insting, bukan akal!.
Insting?
Pernah heran dengan pernyataan ini, namun akhirnya kuangkat bendera putih sebagai
peneguh bahwa yang dulu kupikirkan telah salah dan kalah. Data menunjukan bahwa
kita (lebih tepat “aku”) kebanyakan bertindak berdasarkan insting, bukan akal.
Jika
hewan bertindak dengan akal, mungkin ia akan lebih visioner. Dalam hal kecil
saja misalnya, seekor kucing akan membuat lubang yang sangat banyak untuk
memudahkannya buang hajat. Tapi kenyataannya? Cukup membuat lubang ketika dalam
kondisi tertekan. Sama! aku bertindak ketika merasa diri terancam.
Akhir-akhir
ini hidup rasanya tak begitu puitis. Berbeda ketika dulu sering kuangkat akal untuk
menyiasati cinta dan harmonisasi pada sesama. Bukan baik atau buruk, namun pertimbangan
lebih pada solid atau tak solid sebuah hubungan, benar salah urusan belakangan.
Entah apa istilahnya. Dan ini berujung sederhana, perihal kecemasan, lagi-lagi tentang
masa depan.
Seolah aku
berkali-kali menghina Tuhan. Aku tahu bahwa gundahnya manusia pada kecukupan
hidup di masa mendatang hanya bisa diraih dengan tawakkal. “law tawakkaltum,
haqqa tawakkulih, la rozaqoqum kamaa yarzuqutthoir”. Dan ketika hadis itu
kuucapkan, tabiatku masih bebal inginkan rasional. Ini sifat yang kutunjukan
karena aku selalu merasa kurang terhadap rizki yang Alloh turunkan. Pantas saja!,
“kamu kotor, tak bertawakal” ujar Ludba ketus berlalu.
***
Masih
tentang masa depan, aku membayangkan bagaimana bintang tetap dalam posisi sama
ketika aku melihatnya minggu lalu. “setelah kita kuliah, berapa berat beban
yang akan kita pikul? Jika di sini, setelah lulus, kita menganggur? Orang tua
gimana?” sergah seorang teman membuyarkan lamunan. Dan pernyataan itu masih
terngiang sampai sekarang, temanku serius sekali ketika bicara. Dan ini nyata
aku saksikan, karena ia melihat seorang lulusan perguruan tinggi ternama masih
belum juga mendapat kerja.
Para
faktualis akan menelaah dan menyinggung tentang ketidak optimalan usaha. Namun aku tetap ragu dan selalu cemas.
Catatan ini memang tersamar. Namun aku selalu berharap, mudah-mudahan apa yang kumaksud terwakil dan tersampaikan.
Sudah jelas aku tahu dan meyakini, namun belum juga membuatku semakin mesra dengan sang pencipta.
Semarang,
24 Juli 2013
0 Response to "kicau resah; helaan nafas parau masa depan (?)"
Post a Comment