Manusia lahir, hidup, terbunuh atau
mati dengan sendirinya. Lahir berbekal potensi sama untuk berkembang, maju,
melesat dan unggul. Kemudian dari bekal yang setara itu berlanjutlah pada fase hidup,
memandang pertama kali bumi dengan penuh rengekan dan ketakutan. Sejatinya dari
sinilah mulai ada makna persaingan, berkelompok, kerja sama sampai pada berebut,
mengungguli dan takut diungguli.
Bumi
berputar, sesekali kadang juga mengajari manusia untuk hidup baik dan teratur.
Lewat beberapa peristiwa dan bencana, muncul peraturan, ilmu dan cara bertahan.
Sebagai contoh, bencana tsunami yang melanda Aceh beberapa tahun kebelakang,
menghasilkan suatu kebijakan standarisasi pembangunan rumah tahan gempa, sirine
peringatan bencana, juga belajar tentang bagaimana cara bertahan hidup
menghadapi bencana. Kebijakan ini tidak bisa lahir secara tiba-tiba, apalagi
spontan muncul tanpa ada yang membuat. Kebijakan ini lahir melalui proses yang
panjang dan sangat berkaitan dengan politik. Hal ini sejalan dengan apa yang
dikatakan Aristoteles bahwa politik adalah usaha yang ditempuh warga Negara
untuk mewujudkan kebaikan bersama.
Berbicara hidup, berarti berbicara bagaimana
bersosial, bekerja sama, hubungan timbal balik dan saling mengkoreksi. Memang
menjadi rahasia umum ketika kita mengetahui bersama bahwa manusia sama sekali tidak
berkutik ketika hidup seorang diri. Mungkin hanya untuk mencari makan bisa saja
bertahan lama, tapi ia akan konstan berada pada kejumudan, tertinggal peradaban
dan jauh dari hakikat manusia seutuhnya. Manusia bersosial, hidup dalam
keragaman makhluk lainnya yang sama-sama menginginkan kebaikan dan kebahagian.
Fakta ini sudah cukup menguatkan!.
Secara
fitrah, manusia hidup dalam aturan untuk berkelompok, fakta ini tak bisa
dibantah hanya dengan tesis atau makalah yang tebalnya tak seberapa. Sudah mafhum bagi semua orang, bahwa dalam hidup, tarap pencapaian
ketenangan adalah ketika keadilan dalam kehidupan tegak berdiri menumpaskan
kedzoliman.
“Dan
demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu umat yang adil dan pilihan agar kamu
menjadi saksi atas (perbuatan) manusia, dan agar Rasul menjadi saksi atas
(perbuatan) kamu”.
(Qur’an 02:143)
Bergumulnya
manusia tak selamanya berlandaskan peraturan konkrit yang dalam implementasinya
sukses menebarkan keadilan yang setara bagi semua. Ada yang tertulis, ada yang
hanya mengandalkan obrolan turun temurun, namun semuanya memiliki kesamaan
bahwa sejatinya manusia hidup perlu aturan untuk mencapai kebaikkan. Maka atas
dasar ini wajib hukumnya dalam satu wilayah ada wakil-wakil sebagai penegak
keadilan, tentu dalam hal ini kita tidak bisa memandang remeh sebelah mata pada
orang yang mengorbankan separuh hidupnya untuk kemaslahatan umat. Meskipun
dalam kabar yang sering kita dengar begitu memilukan. Tangis pecah dan sukar
untuk berhenti ketika di satu sisi ada masyarakat yang luar biasa melarat
sedang di sisi lain ada pejabat tidur di ruang rapat. Memang memilukan, tapi
apakah dengan kita mengutuk habis-habisan dan serta merta menjauh dari masalah
semuanya akan terselesaikan begitu saja?
Saya katakan ulang dalam bahasa
sederhana apa yang pernah disinggung salah satu pemikir islam bahwa ketika kita memencilkan diri kita dari masyarakat karena kita
merasa lebih bersih jiwanya, lebih suci hatinya, lebih luas wawasannya, atau
lebih cerdik akalnya dari mereka, pada saat itulah kita tidak melakukan sesuatu
yang berarti, karena kita telah memilih untuk diri kita jalan pintas yang
paling sedikit resikonya
Sejatinya
yang kita pahami sekarang bahwa politik adalah seni, seni dalam mengungguli dan
berebut kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Politik juga berati
ilmu untuk belajar menguasai. Dalam kondisi riil nya, seakan politik
dikategorikan dalam kategori hitam, jalang dan sebagian orang juga menganggap bahwa
politik adalah pintu menuju dosa besar. Apakah demikian?
Tidak,
Tidak
bisa dengan dalil lemah, kita menuntut untuk terciptanya negeri gemah ripah
loh jinawi, sementara dalam benak kita terbentuk stigma apatis dan
menanggapi miring isu seputar politik. Sudah seharusnya kita berbenah dalam
pembendaharaan yang koferhensif mengingat kebangkitan dari terpuruknya kondisi
negeri sudah lama mengisi mimpi setiap manusia.
Mungkin
ada banyak mimpi indah tentang impian negeri khayangan dalam balutan misi visi
dan tujuan yang disampaikan dalam pidato dan berbagai macam retorika, dan
kadang karena terfokus pada angan besar banyak yang lupa bahwa sejatinya hidup
masihlah di dunia. Kadar hitam dan putih, komposisi kotor dan bersih semua
mengisi kehidupan dengan gejolak yang sarat akan makna dan bencana. Semua hal
yang abu-abu perlu dipertegas. Dalam hal ini aturanlah yang memegang kendali.
Aturan hanya sebatas aturan jika tak ada satu pihak atau golongan yang
menjalankan aturan itu. Disini kontribusi semua orang dibutuhkan.
Sengaja
saya memutar-mutar bahasan yang intinya hanya mempertegas bahwa politik itu
penting. Namun saya tidak ingin membuat instan sebelum formula baru ditemukan. Formula
itu berawal dari kesadaran. Sudah seberapa sadarkah masyarakat Indonesia dari
tidur panjangnya? Itu pertanyaan yang melandasi dibuatnya tulisan ini.
Mungkin
jika kita inginkan segala yang instan sebaiknya kita perlu meninjau ulang makna
hakikat keberadaan manusia. Sejatinya manusia dianggap ada ketika berguna, itu
versi instannya. Sangat sederhana sekali, namun semuanya lagi-lagi tak
sesederhana itu. Banyak jalan yang terhampar dari ribuan versi cendekiawan, namun
bukannya membaikkan malah rasa-rasanya telah sukses membingungkan banyak orang.
Inilah yang menyebabkan kebanyakkan orang tidak memilih salah satu dari yang
banyak itu. Dari sinilah saya kemudian menerapkan gagasan bagaimana politik
bersih bisa berjalan otomatis dan instan.
Kesadaran
merupakan patokan awal terbentuknya hegemoni masyarakat yang bisa mendongkrak laju
peradaban bangsa. Kemudian ketika kesadaran semua lapisan masyarakat terbentuk
maka ia memiliki kekuatan sebagai pengontrol jalannya sistem. Dari sini bisa
jadi otomatisnya sistem berjalan merdu dan terkontrol.
Siapa
bilang seorang remaja harus bungkam mulut terhadap politik?
Siapa
bilang umur yang belum mencapai 40-an dikata belum cukup umur untuk meneriakkan
politik?
Makna
politik yang seperti apa?
Jika
yang dimaksud makna politik yang telah terdegradasi oleh subjek masa kini, maka
kita putar pertanyaannya. Siapa bilang dengan pelaku politik yang ada sekarang
akan menjamin keberlangsungan tegakknya keadilan dan menyebarnya kebaikkan
dalam segala aspek?
Sudah
cukup untuk mencari-cari obrolan panjang yang berujung pada perpecahan. Merosotnya
generasi muda tak lain karena contoh para pemimpin yang tak karuan, para
pemimpin tak terima, membela dengan dalih bahwa mereka juga manusia yang pernah
muda dan tak bisa lepas dari dosa, golongan muda tak tinggal diam, mereka
berteriak tak mau menerima, berkoar dengan banyak istilah, uring-uringan
meneriakan gagasan. Semua saling tuduh menuduh. Inilah realita, realita yang
tak mungkin bisa terselesaikan ketika semua menghindar tak mau memecahkan.
Rasanya
sangat cukup untuk berbicara panjang lebar mengenai masalah. Saatnya kita berbicara
jalan mana yang akan kita ambil untuk mengembalikan makna kesederhanaan politik
yang dalam arti sederhananya adalah membaikkan semua. Berbenah dari hal yang
terkecil, tidak pernah menunda apa yang menjadi kewajiban dan dimulai dari pribadi
yang sadar akan hakikat bersosial, itulah yang sudah semestinya dilakukan.
Generasi muda jangan dungu dan terlena oleh segala hal yang tak penting. Dirasa
menonton konser lebih penting dari belajar memaknai kehidupan, dikira nongkrong
menggandeng pacar lebih mulia dibanding memperjuangkan cinta pada semua kaum papa.
Atas semua perasaan yang salah kaprah, cukuplah untuk bertindak. Coba rehat dan
telisik lebih jauh. Begitu banyak problem yang sedang dihadapi negeri ini,
gaungnya melengking bersiap mencekik siapa saja yang diam.
Saatnya
keluar dari zona nyaman! Zona yang membelai kita untuk tetap tidur berselimut
ketenangan, kemegahan perhiasan dan hunian.
Padahal PR kita masih banyak dalam membenahi masalah sosial. Tentang
kelaparan, teriakan bayi aborsi, longlongan perut yang keroncongan dan beberapa
polemik yang sampai sekarang masih tersimpan rapi di meja sidang, sudah saatnya
kita berbenah mendeklarasikan ulang kemerdekaan dengan memaknai kesederhanaan
definisi politik.
Politik
memang tak mudah, namun dengan politik semua bisa berubah.
Wallahualam.
0 Response to "Menyederhanakan (makna) Politik"
Post a Comment