Dulu
kita kebingungan yang sering dibicarakan itu Indonesia ‘yang mana’ dan ‘punya
siapa’. Klausul yang muncul dari klaim atas Indonesia belum sepenuhnya gamblang.
Namun pada 28 Oktober 1928 ketidakjelasan itu mulai nampak jahr. Adalah sumpah pemuda yang mengawali kiprah bangsa ini untuk
mandiri dan terbebas dari penjajahan. Sumpah sebagaimana yang terlontar dalam
tiga buah kalimat yang telah kita hafal, adalah bentuk penegasan bahwa
kemandirian sebuah bangsa harus dikukuhkan dan dimanifestasikan dengan melepas
setiap belenggu penjajahan.
Lalu
kita bertanya, mengapa pada saat itu para pemuda harus bersumpah? Mengapa harus
terjadi semacam deklarasi kesepakatan antara dirinya dengan Tuhan? Sumpah yang
menjadi kalimat sakral anti lalai itu lahir dari putusan kongres pemuda ke II
yang diprakarsai oleh Moehammad Yamin lewat adegan sodoran kepada Soegondo saat
Mr. Sunario tengah berpidato. Para pemuda bersumpah untuk sesuatu yang harus
ditinggalkan, dimatikan, dan dilenyapkan dari muka bumi. Dan dari mentalitas
melepaskan itu muncul sebuah kesadaran untuk perbaikan. Ini sangatlah wajar dan
biasa. Dalam kondisi ketika bercokolnya penjajahan dan penjarahan Belanda di Indonesia
pemuda mengambil sikap pernyataan sungguh-sungguh untuk mewujudkan kemerdekaan hakiki
bagi bangsa.
Negeri Sumpah Serapah
Saat
ini boleh dibilang kita sedang dihadapkan pada situasi yang silang sengkarut.
Dagelan politik yang menikam sisi kesadaran masyarakat, membuat menjerit-jerit,
uring-uringan, lalu tengkurap, membusa. Rakyat menikmati penderitaan karena bingung
apa yang harus dikerjakan. Menyilang saja sudah merepotkan, ditambah sengkarut
yang maknanya lilit-melilit, banyak seluk-beluknya; kait berkait, tidak keruan,
bisa kita rasakan hanya dengan membuka jendela atau menyetel televisi. Negeri
yang antar rakyat dan pemimpinnya tidak akur, saling menyerapahi satu sama lain
ini alhamdulillahnya masih dikatakan
sebagai sebuah negara. Namun ada rasa malu yang aneh. Jika dipreteli
satu-persatu silang sengkarut ini bisa dilihat dari anggaran, pendidikan, akhlak,
budaya, pilar-pilar konstitusi, hingga kontraproduktifnya segala faktor peri
kehidupan; baik itu agama atau nilai-nilai masyarakat yang arif, yang kesemua aspek
ini bukan berjalan sejajar untuk tujuan nasional, malah saling menyilang,
membuat simpul mati, menjegal, menahan, numpuk dan busuk.
Penerimaan
APBN sebanyak 1.667.1 Triliyun yang sebagian besarnya didapatkan dari pajak
sebesar 1.110.2 Triliyun dengan kebutuhan pengeluaran 1.842.5 Triliyun ini
nampak menjengkelkan ketika kita ketahui anggaran belanja negara rinciannya:
637.8 Triliyun untuk belanja kementrian, 333.7 Triliyun untuk subsidi, 121.3 Triliyun
untuk pembayaran bunga utang luar negeri, sementara untuk pembayaran pokok
utangnya hanya sebanyak 58.8 Triliyun (Sumber: kemenkeu.go.id). Ini artinya
anggaran untuk membayar bunga hampir dua kali lipat dari utang pokok. Untung
saja, rakyat hanya bisa mengelus dada sambil sesekali sesumbar pada ketidakbecusan
pemimpin mengurus negeri, mereka bukan emosi, namun cemas atas tingkahnya yang
terlihat seperti boneka Barbie, sering bersolek, menjaga prestise diri.
Jika
rakyat mengutuk dengan hanya cacian, para pemimpin juga bisa membalas dengan
kutukan yang langsung bisa dirasakan; kenaikan BBM, TDL, LPG, Sembako, dsb.. Pun
dengan sumpah serapah yang rakyat lontarkan akan langsung dibalas dengan sumpah
beserta kutukan yang lagi-lagi rakyat dipaksa harus mencumbuinya dengan alasan “kita telah dan sedang bekerja, jadi mohon
bersabar”.
Ini
baru satu permasalahan, belum lagi soal pendidikan yang saat ini tengah adu
jotos dengan para kapitalis industri hiburan. Kegagalannya telah nampak nyata,
pada 2010 saja 2,5 juta bayi aborsi menjadi korban keganasan anak bangsa yang
62,6 persen pelakunya berumur di bawah 18 tahun. Bagaimana dengan MNC (Multi National Coorporate)? Seks bebas?
Kriminalitas? Pilar konstitusi?
Menemukan Benang Merah
Cukup
sulit membayangkan darimana kita harus memulai jika perkaranya sudah complicated seperti ini. Kita saat ini berada
dalam pusaran gelombang yang membuat kita mual-mual jika dipaksa mengeluarkan
solusi mantab. Yang terjadi saat ini adalah muntahnya intelektualitas dalam kadar
yang tidak terbendung, semua pendapat keluar dan diamini, diuji coba, tanpa ada
pertimbangan. Hendaknya terlebih dahulu kita mengklasifikasikan persoalan,
apakah ini bersifat fungsional yang disebabkan oleh human error, ataukah bersifat sistemik karena sistem yang dipakai
rapuh.
Jawabannya
adalah dua-duanya, di samping sistem yang rusak, pribadi masyarakat juga kacau.
Kita tidak bisa lari dari fakta bahwa sistem yang kacau akan memaksa pribadi
menjadi kacau, namun kita bisa berlari dari fakta bahwa sistem yang baik dapat menjadi
buruk hanya karena ada pribadi yang rusak didalamnya, jika dalam sistem itu
masih ada kesadaran dibenak rakyat untuk memertahankan. Maksudnya bahwa
menegakkan sistem yang baik lebih utama dilakukan oleh sekelompok orang sadar untuk
memaksa mayoritas menjadi baik. Yang dinamakan sistem yang baik pada awalnya
terlahir dari segelintir pribadi yang baik, yang mengambil standar baik bukan
dari dirinya dan kebanyakan manusia. Nilai-nilai yang diambil adalah
nilai-nilai ilahiah yang bersandar pada
Al-Qur’an, sunah, ijma, serta qiyash qathi, bukan suara mayoritas manusia.
Saat
ini ketika kapitalisme-demokrasi telah terbatuk-batuk dan mendekati ajal, wajib
untuk segera kita tinggalkan. Ini bukan perkataan sompral!, Sudah banyak para
pakar yang merasa risih dengan sistem demokrasi yang pada praksisnya adalah
dari 99% untuk 1%. Yudi Latif, Anggota ahli komunitas Indonesia untuk Demokrasi,
dalam disertasinya mengungkapkan “jangan
pernah ragu untuk mengkritik demokrasi, karena seluruh dunia sedang mengkritik
demokrasi.” Kapitalisme-Demokrasi sebagai satu paketan impor telah
memosisikan negara sebagai perusahaan, mendefinisikan pemimpin sebagai buruh
yang berlaku juragan, membuat rakyat sebagai komoditas yang halal dieksploitasi
demi kursi, dan membuat darah dan keringat orang banyak menjadi pakaian
kebanggaan.
Tawaran Sumpah Pemuda (Baru)
Nasib
Sumpah Pemuda yang saat ini sudah seperti barang mainan hendaknya perlu untuk
kita maknai ulang. Makna sumpah sebagai deklarasi yang terlahir dari kesadaran
untuk meninggalkan kesemrawutan harus kita maknai sebagai mana adanya. Sumpah
terlahir dari perasaan sadar untuk merubah, dan pemuda adalah pundak di mana
merubah itu menjadi pantas dan anggun bertengger dipundaknya. Layaknya Sumpah
pemuda yang lahir dari putusan Kongres Pemuda ke II, maka kita butuh juga
perhelatan akbar serupa untuk menawarkan solusi baru dari permasalahan
penjajahan kontemporer.
Pemuda
saat ini harus bisa kembali meneguhkan berkomitmen untuk merubah, disaat
tawaran dunia yang nyiyir kepalsuan tentang demokrasi dan kebebasan begitu
memukau. Deklarasi sumpah baru sejatinya harus bergulir dan muncul kepermukaan
sebagai tawaran segar yang tidak hanya sesumbar karena pasrah dan tertekan. Dan
deklarasi itu haruslah mengarah hanya pada diterapkannya syariat islam secara
total.[]aabelkarimi
0 Response to "Nasib Sumpah Pemuda di Era Sumpah Serapah"
Post a Comment